Makalah Hukum Syar'i - Ushul Fiqih
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur yang tak terhingga kita panjatkan kepada Illahi Rabbi atas berkat, rahmat, dan karuniaNya akhirnya kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Adapun tujuan disusunnya makalah ini ialah sebagai salah satu materi tugas kegiatan yang harus ditempuh dalam melaksanakan studi ditingkat perkuliahan semester satu. Adapun judul yang penyusun buat dalam makalah ini adalah mengenai “HUKUM SYAR’I”
Dalam penyusunan makalah ini penyusun banyak mendapatkan dukungan srta do’a dari berbagai pihak, oleh karena itu izinkanlah kami mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan semua yang sudah membantu hingga masalah ini selesai.
Sangatlah disadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, untuk itu penyusun mengharapkan masukan baik saran maupun kritik. Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat khususnya bagi kita semua.
Bandung, 08 Desember 2019
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Segala amal perbuatan manusia, perilaku dan tutur katanya tidak dapat lepas dari ketentuan hukum syari'at, baik hukum syari'at yang tercantum di dalam Quran dan Sunnah, maupun yang tidak tercantum pada keduanya, akan tetapi terdapat pada sumber lain yang diakui syari'at.
Sebagaimana yang di katakan imam Ghazali, bahwa mengetahui hukum syara' merupakan buah (inti) dari ilmu Fiqh dan Ushul fiqh. Sasaran kedua di siplin ilmu ini memang mengetahui hukum syara' yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf. Meskipun dengan tinjauan yang berbeda. Ushul fiqh meninjau hukum syara' dari segi metodologi dan sumber-sumbernya, sementara ilmu fiqh meninjau dari segi hasil penggalian hukum syara', yakni ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa igtidha (tuntutan perintah dan larangan), takhyir (pilihan), maupun berupa wadhi (sebab akibat), yang di maksud dengan ketetapan Allah ialah sifat yang telah di berikan oleh Allah terhadap sesuatu yang berhubungan dengan orang-orang mukallaf. Seperti hukum haram, makruh, wajib, sunnah, mubah, sah, batal, syarat, sebab, halangan (mani')dan ungkapan lain yang akan kami jelaskan pada makalah ini yang kesemuanya itu merupakan objek pembahasan ilmu Ushul fiqh.
Maka, lewat makalah ini kami akan mencoba membahas tentang hukum syara' yang berhubungan dengan hukum taklifi dan hukum wadhi. Semoga makalah ini dapat membantu pembaca dalam proses pemahaman dalam mempelajari ilmu Ushul fiqh.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu hukum syar’i?
2. Apa macam-macam hukum syar’i?
3. Bagaimana perbedaan hukum taklifi dan hukum wad’i!
C. Tujuan
1. Mengetahui definisi dari hukum syar’i.
2. Menjelaskan dan memaparkan macam-macam hukum syar’i.
3. Dapat membedakan antara hukum taklif dan hukum wadh’i.
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Syar’i
a. Secara Bahasa
Basiq Dzalil (2010:36) mendefinisikan secara bahasa hukum adalah menetapkan sesuatu atas sesuatu yang lain.
Definisi hukum dalam Rachmat Syafe’I (1999:295) berdasarkan mayoritas ulama ushul ssebagai berikut:
“Kalam Allah yang menyangkut perbuatan orang dewasa dan berakal sehat, bersifat imperative, fakulatif atau menempatkan sesuatu sebagai sebab, syarat, dan penghalang.”
Kata syar’I atau syariat berasal dari kata syar’a al-syai’u yang berarti menerangkan atau menjelaskan sesuatu.
a. Secara Istilah
Basiq Dzalil (2010:35) menyatakan hukum syar’i merupakan suatu ketentuan yang berasal dari Allah SWT dan Rasul, baik dalam bentuk tekstual maupun hasil pemahaman ulama. Karenanya juga dikatakan yang berasal dari Al Quran dan Hadis.
B. Macam-macam Hukum Syar’i
Hukum syar’i terbagi menjadi dua macam, yaitu hukum taklif dan juga hukum wadh’i.
a. Hukum Taklif
Definisi Taklif.
Rachmat Syafe’I (1999:296) Hukum taklif adalah firman Allah yang menuntun manusia untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat dan meninggalkan.
Basiq Dzalil (2010:44) Hukum taklif yang dimaksud disini adalah, tuntunan Allah pada manusia yang balig dan berakal untuk berbuat atau untuk tidak berbuat atau memilih salah satu di antara keduanya.
Macam-Macam Hukum Taklif
Menurut Jumhur Ulama Ushul Fiqih/Mutakallimin bentuk-bentuk hukum taklif ada 5 macam, yaitu Ijab, Nadb, Tahrim, Karamah, dan Ibahah
1. Ijab
Yaitu tuntunan Syar’i yang bersifat untuk melaksanakan sesuatu dan tidak boleh ditinggalkan. Orang yang meninggalkan dekanei sanksi. Misalnya, dalam surat An Nur: 56.
2. Nadb
Yaitu tuntunan untuk melaksanakan suatu perbuatan yang tidak bersifat memaksa, melainkan sebagai anjuran, sehingga seorang tidak dilaranguntuk meninggalkanya. Orang yang meninggalkannya tidak dikenai hukumanya. Misalnya, dalam surat Al Baqarah: 282.
3. Tahrim
Yaitu tuntunan untuk tidak menngerjakan seuatu perbuatan dengan tuntutan yang memaksa. Akibat dari tuntutan ini disebut hurmah dan perbuatan yang dituntut itu disebut dengan haram. Misalnya, dalam surat Al An’an: 151.
4. Karahah
Yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu diungkapkan melalui redaksi yang bersifat memaksa. Dan seseorang yang mengajarkan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan itu tidak dikenai hukuman. Karahah ini merupakan kebalikan dari Nadb.
5. Ibahah
Yaitu khithab Allah yang bersifat fakultatif, mengandung pilihan antara berbuat atau tidak berbuat secara sama. Perbuatan yang boleh dipilih itu disebut mubah. Misalnya dalam surat Al Maidah: 2.
(Rachmat Syafe’i, 1999:297-301)
b. Hukum Wadh’i
“Hukum wadh’I adalah firman Allah SWT, yang menuntut untuk menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain. Bila firman Allah menunjukan atas kaitan sesuatu dengan hukum taklif, baik bersifat sebagai sebab, atau syarat, atau penghalang maka ia disebut hukum wadh’i. Di dalam ilmu hukum ia ddisebut pertimbangan hukum.” (Rachmat Syafe’i, 1999:312)
Basiq Dzalil (2010:44) Hukum Wadh’i yang dimaksud disini yaitu adanya suatu hukum tergantung pada ada atau tidaknya sesuatu yang lain, seperti sebab, syarat, dan manik (halangan hukum).
Macam-Macam Hukum Wadh’i
Dari pengertian hukum wadh’i tersebut ditunjukan bahwa macam-macam hukum wadh’i, yaitu sebab, syarat, mani’, juga shihhah, bathil, ‘azimah dan rukhshah.
1. Sebab
Menurut bahasa sebab adalah sesuatu yang dapat menyampaikan kepada sesuatu yang lain. Berarti jalan yang dapat menyampaikan kepada sesuatu tujuan. Menurut istilah adalah suatu sifat yang dijadikan syar’i sebagai tanda adanya hukum.
2. Syarat
Yaitu sesuatu yang berada di luar hukum syara’, tetapi keberadaan hukum syaara’ bergantung kepadanya. Apabila syarat tidak ada, hukum pun tidak ada, tetapi adanya syarat tidak mengharuskan adanya hukum syara’.
3. Mani’
Yaitu sifat yang keberadaannya menyebabkan tidak ada hukum atau tidak ada sebab.
4. Shihhah
Yaitu suatu hukum yang sesuai dan tuntutan syara’, yaitu terpenuhinya sebab, syarat, dan tidak ada mani’.
5. Bathil
Yaitu terelepasnya hukum syara’ dari ketentuan yang ditetapkan dan tidak ada akibat hukum yang ditimbulkan.
6. ‘Azimah
Azimah adalah hukum-hukum yang disyariatkan Allah kepada seluruh hamba-Nya sejak semula. Artinya, belum ada hukum sebelum hukum disyariatkan Allah Allah, sehingga disyariatkan seluruh mukallah wajib mengikutinya.
7. Rukhshah
Para ahli Ushul Fiqih mendefinisikan rukhshah dengan hukum yang ditetapkan berbeda dengan dalil yang ada karena ada uzur.
(Rachmat Syafe’I, 1999: 312-316)
C. Perbedaan Hukum Taklif dan Hukum Wadh’i
1. “Hukum taklif merupakan tuntunan langsung pada mukallaf untuk dilaksanakan, ditinggalkan, atau melakukan pilihan untuk berbuat atau tidak berbuat. Sedangkan hokum wadh’I tidak dimaksudkan agar langsung dilakukan mukallaf. Hukum wadh’i ditentukan syari’ agar dapat dilaksanakan hokum taklif.” (Rachmat Syafe’I, 1999:316)
2. “Hukum taklif harus sesuai dengan kemampuan mukallaf untuk melaksanakan atau meninggalkanya, karena dalam hukum taklif tidak boleh ada kesulitan (masyaqqah)dan kesempitan (haraj)yang tidak mungkindipikul oleh mukallaf. Sedangkan dalam hukum wadh’I hal seperti ini tidak dipersoalkan, karena masyaqqah dan haraj dalam hokum wadh’i adakalanya dipikum mukallaf. (Rachmat Syafe’i, 1999:312)
3. Rachmat Syafe’i (1999:3312) Hukum taklif ditujukan kepada para mukallaf, yaitu orang yang telah balig dan berakal; sedangkan hukum wadh’i ditujukan kepada manusia mana saja, baik telah mukallah, maupun belum.
4. Basiq Dzalil (2010:44) Hukum taklif mengandung tuntunan, sedang hukum wadh’i tidak mengandung tuntunan, tetapi hanya mengandung sebab, syarat, dan manik atau halangan hukum.
BAB III KESIMPULAN
Hukum syar’i merupakan ketentuan yang berasal dari Allah SWT dan Rasul, yang bertujuan untuk mengatur perbuatan yang dilakukan oleh manusia dewasa yang berakal sehat. Baik dalam bentuk tekstual maupun hasul pemahaman ulama.
Hukum Syar’i terbagi menjadi dua macam, yaitu hokum taklif dan juga hokum wadh’i. Hukum taklif adalah firman Allah yang menuntun manusia yang balig dan berakal sehat untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat dan meninggalkan. Bentuk bentuk hukum taklif adalah Ijab, Nadb, Tahrim, Karamah, dan Ibahah. Hukum wadh’i adalah adanya suatu hokum yang tergantung pada ada atau tidaknya sesuatu yang lain. Macam-macam hokum wadh’i yaitu sebab, syarat, mani’, juga shihhah, bathil, ‘azimah dan rukhshah.
Dalam hukum taklif terkandung tuntutan untuk melaksanakan. Meninggalkan, atau memilih berbuat atau tidak berbuat. Dalam hokum wagh’i hal ini tidak ada, melainkan mengandung keterkaitan antara dua persoalan.
DAFTAR PUSTAKA
Syafe’i, Rachmat. 1999. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: CV Pustaka Setia
Dzalil, Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqih (Satu dan Dua) [e-book]. Jakarta: Kencana Prenamedia Group
Hijup. 2015. Arti Syar’i Menurut Islam. https://www.hijup.com/magazine/p/arti-syari-menurut-islam di Akses pada 11 Desember 2019.
Komentar
Posting Komentar