Makalah Adz-Dzari'ah - Pengantar Ilmu Ushul Fiqih

Kata Pengantar Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh Puji syukur mari kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang Maha Pemurah, karena atas Rahmat dan Karunia-Nya yang telah melimpahkan kesempatan dan pengetahuan sehingga Alhamdulillah makalah ini dapat diselesaikan pada waktunya. Sholawat serta salam tak lupa selalu kita panjatkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Terima kasih pula kami haturkan kepada teman-teman yang telah membantu dan berkontribusi dengan memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun dan diselesaikan dengan baik. Kami berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan dan ilmu kepada para pembaca. Namun terlepas dari itu, kami sangat memahami bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik. Bandung, 2 Desember 2019 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Setiap pebuatan yang secara sadar dilakukan oleh seseoang pasti mempunyai tujuan tertentu yang jelas, terkadang tanpa mempersoalkan apakah perbuatan yang dituju itu baik atau buruk, mendatangkan manfaat atau menimbulkan mudharat. Sebelum sampai pada perbuatan yang dituju, ada serentetan perbuatan yang mendahuluinya dan harus dilalui. Contoh, bila seseorang ingin menuntut ilmu, ia melalui beberapa fase kegiatan seperti mencari guru, menyiapkan tempat dan alat-alat belajarnya. Perbuatan pokok dalam hal ini adalah menuntut. Contoh pebuatan pendahuluan yang sudah diatur hukumnya adalah: Wudhu. wudhu adalah perantara melakukan shalat, namun kewajiban wudhu itu sendiri telah diatur hukumnya oleh al-Qur’an. Jelas dalam hal ini antara wudhu (perantara) dan shalat yang menjadi perbuatan pokok hukumnya sama-sama wajib. Contoh lain yaitu Berzina. Berzina adalah perbuatan yang dilarang, sedangkan perbuatan yang mendahuluinya adalah berkhalwat yang hukumnya sudah ditentukan dalam al-Qur’an. Jadi antara zina yang menjadi perbuatan pokok dengan khalwat yang menjadi perbuatan perantara hukumnya sama-sama haram. Sedangkan contoh perbuatan pendahuluan yang tidak ditetapkan hukumnya adalah kewajiban menuntut ilmu itu diwajibkan tetapi perbuatan perantara seperti mendirikan sekolah dan mencari guru itu tidak ada dalil hukumnya secara langsung. Dapatkah mendirikan sekolah dan mencari guru itu wajib sebagaimana wajibnya menuntut ilmu?. Contoh lain adalah membunuh tanpa hak merupakan perbuatan haram yang harus dijauhi, tetapi untuk menghindar dari membunuh tanpa hak umpamanya dengan tidak memiliki senjata, dalam hal ini dapatkah memiliki senjata dikatakan hukumnya haram sebagaimana haramnya membunuh tanpa hak yang menjadi perbuatan pokok?. Berangkat dari kegelisahan inilah maka penulis ingin membahas mengenai perbuatan pendahuluan yang belum jelas kontek hukumnya yang dalam makalah ini disebut dengan Dzari’ah. 1.2 Rumusan Masalah 1. Apa pengertian dzariah dan saad adz-dzariah ? 2. Apa macam-macam dzariah ? 3. Bagaimana kehujjahan dzariah ? 4. Apa pengertian fath dzariah ? 1.3 Tujuan Penulisan 1. Dapat mengetahui apa itu dzariah dan saad adz-dzariah? 2. Dapat mengetahui macam-macam dzariah ? 3. Dapat mengetahui kehujjahan dzariah ? 4.Dapat mengetahui apa itu fath dzariah ? BAB II PEMBAHASAN ADZ-DZARI’AH 2.1 Pengertian Dzari’ah Pengertian Dzari’ah ditinjau dari segi bahasa adalah “ jalan menuju sesuatu”. Sebagian ulama mengkhususkan pengertian dzari’ah dengan sesuatu yang membawa pada perbuatan yang dilarang dan mengandung kemadaratan. Akan tetapi, pendapat tersebut ditentang oleh para ulama ushul lainnya, diantaranya Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah yang menyatakan bahwa dzari’ah itu tidak hanya menyangkut sesuatu yang dilarang, tetapi ada juga yang dianjurkan. Demikian, lebih tepat kalau dzari’ah itu dibagi menjadi dua, yaitu sadd Adz-dzari’ah (yang dilarang) dan fath adz-dzari’ah (yang dianjurkan). 2.2 Sadd al-Dzari’ah Menurut al-Syatibi, sadd al-Dzari’ah ialah : التّوصّل بماهومصلحةالى مفسدة Artinya : “Melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemaslahatan menuju pada suatu kerusakan (kemafsadatan)”. Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa sadd al-dzari’ah adalah perbuatan yang dilakukan seseorang yang sebelumnya mengandung kemashlahatan, tetapi berakhir dengan suatu kerusakan. Contohnya, seseorang yang telah dikenai kewajiban zakat, namun sebelum haul (genap setahun) ia menghibahkan hartanya kepada anaknya sehingga dia terhindar dari kewajiban zakat. Hibbah (memberikan sesuatu kepada orang lain, tanpa ikatan apa-apa) dalam syari’at Islam merupakan perbuatan baik yang mengandung kemashlahatan. Akan tetapi, bila tujuannya tidak baik, misalnya untuk menghindarkan dari kewajiban zakat maka hukumnya dilarang. Hal itu didasarkan pada pertimbangan bahwa hukum zakat adalah wajib sedangkan hibah adalah sunnah. Menurut al-Syatibi, ada kriteria yang menjadikan suatu perbuatan itu dilarang, yaitu: a. Perbuatan yang tadinya boleh dilakukan itu mengandung kerusakan; b. Kemafsadatan lebih kuat daripada kemashlahatan; dan c. Perbuatan yang dibolehkan syara’ mengandung lebih banyak unsur kemafsadatan. 2.3 Macam - Macam Dzari’ah Para ulama membagi dzari’ah berdasarkan dua segi; segi kemashlahatan dan segi kemafsadatannya. 1. Dzari’ah dari Segi Kualitas Kemafsadatan Menurut al-Syatibi, dari segi kualitas kemafsadatan, dzari’ah dibagi ke dalam empat macam, yaitu: a. Perbuatan yang dilakukan tersebut membawa kemafsadatan yang pasti. Misalnya menggali sumur di depan rumah orang lain pada waktu malam, yang menyebabkan pemilik rumah jatuh ke dalam sumur tersebut. Orang yang bersangkutan dikenai hukuman karena melakukan perbuatan tersebut dengan disengaja. b. Perbuatan yang boleh dilakukan karena jarang mengandung kemafsadatan, misalnya menjual makanan yang biasanya tidak mengandung kemafsadatan; c. Perbuatan yang dilakukan kemungkinan besar akan membawa kemafsadatan. Misalnya, menjual senjata pada musuh, yang di mungkinkan akan digunakan untuk membunuh. d. Perbuatan yang pada dasarnya boleh dilakukan karena mengandung kemaslahatan, tetapi memungkinkan terjadinya kemafsadatan. Misalnya baiy al-ajal (jual beli dengan harga yang lebih tinggi dari harga asal karena tidak kontan). Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama, apakah baiy al-ajal dilarang atau dibolehkan. Menurut imam syafi’i dan abu hanifah, jual beli tersebut diperbolehkan karena syarat dan rukun dalam jual beli sudah terpenuhi. Selain itu, dugaan(jhann al-mujarrad) tidak bisa dijadikan dasar keharaman jual beli tersebut. Oleh karena itu, bentuk dzariah tersebut dibolehkan. Imam malik dan ahmad ibnu hambal lebih memperhatikan akibat yang ditimbulkan oleh praktek jual beli tersebut, yakni menimbulkan riba. Dengan demikian dzariah seperti itu tidak diperbolehkan. Ada tiga alasan yang dikemukakan oleh Imam malik dan Imam ahmad Ibnu Hambal dalam mengemukakan pendapatnya: a. Dalam baiy al-ajal perlu diperhatikan tujuannya atau akibatnya, yang membawa kepada perbuatan yang mengandung unsur riba, meskipun sifatnya sebatas praduga yang berat, karena syara’ sendiri banyak sekali menentukan hukum berdasarkan praduga yang berat, disamping perlunya sikap hati-hati. Dengan demikian, suatu perbuatan yang diduga akan membawa pada kemafasadatan bisa dijadikan dasar untuk melarang suatu perbuatan. b. Dalam kasus baiy al-ajal terdapat 2 dasar yang bertentangan, antara syahnya jual beli karena ada syarat dan rukun, dengan menjaga seseorang dari kemadharatan. c. 3Dalam hal ini Imam Malik dan Ahmad Ibnu Hambal lebih menguatkan pemeliharaan keselamatan dari kemadhartan, karena bentuk jual beli tersebut jelas-jelas membawa pada kemafsadatan. d. Dalam nash banyak sekali larangan terhadap perbuatan-perbuatan yang pada dasarnya dibolehkan, tetapi karena menjaga dari kemafsadatan sehingga dilarang, seperti hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa seorang laki-laki tidak bergaul dengan wanita yang bukan mukhrim, dan wanita dilarang bepergian lebih dari tiga hari tanpa muhrim atau mahramnya, dan lain-lain Perbuatan-perbuatan yang dilarang itu sebenarnya berdasarkan praduga semata mata, tetapi Rasulullah SAW melarangnya karena perbuatan itu banyak membawa kepada kemafsadathan 2. Dzari’ah dari Segi Kemafsadatan yang ditimbulkan Menurut Ibnu QayyimAj-Auziyah, pembagian dari segi ini antara lain sebagai berikut: a. Perbuatan yang membawa kepada kemafsadatan, seperti meminum minuman keras yang mengakibatkan mabuk, sedangkan mabuk adalah perbuatan yang mafsadat. b. Suatu perbuatan yang pada dadarnya dibolehkan atau dianjurkan, tetapi dijadikan sebagai jalan untuk melaksanakan suatu perbuatan yang haram, baik disengaja maupun tidak, seperti seorang laki-laki menikahi perempuan yang ditalak tiga dengan tujuan agar wanita itu dapat kembali kepada suaminya yang pertama (nikah al-tahlil). Menurut Ibnu Qayyim, kedua bagian di atas dibagi lagi dalam dua bagian, yaitu: 1. Kemaslahatan suatu perbuatan lebih kuat dari kemafsadatannya; 2. Kemafsadatan suatu perbuatan lebih kuat daripada kemanfatannya. Kedua pembagian ini pun, menurut Ibnu qayyim dibagi lagi menjadi empat bentuk, yaitu: a. Sengaja melakukan perbuatan yang mafsadat, seperti minum arak, perbuatan ini dilarang syara’. b. Perbuatan yang pada dasarnya dibolehkan atau dianjurkan, tetapi dijadikan jalan untuk melakukan suatu perbuatan yang haram, baik disengaja maupun tidak, seperti seorang laki-laki menikahi perempuan yang ditalak tiga dengan tujuan agar peempuan itu dapat kembali kepada suaminya yang pertama; c. Perbuatan yang hukumnya boleh dan pelakunya tidak bertujuan untuk melakukan suatu kemafsadatan, tetapi berakibat timbulnya suatu kemafsadatan, seperti mencaci maki persembahan orang musyrik yang mengakibatkan orang musyrik juga akan mencaci Allah. d. Suatu pekrjaan yang pada dasarnya dibolehkan tetapi adakalanya menimbulkan kemafsadatan, seperti melihat perempuan yang dipinang. Menurut Ibnu Qayyim, kemaslahatannya lebih besar, maka hukumnya dibolehkan sesuai kebutuhan. 4. Kehujjahan Sadd al-Dzari’ah Di kalangan ulama Ushul terjadi perbedaan pendapat dalam menetapkan kehujjahan sadd adz-dzari’ah sebagai dalil syara’. Ulama Malikiyah dan Hanabilah menerima kehujjahannya sebagai salah satu dalil syara’. Ulama Malikiyah dan Hanabilah dapat menerima kehujjahannya sebagai salah satu dalil syara’. Alasan mereka antara lain: 1. Fiman Allah SWT dalam surat Al- An’am : 108 ولاتسبؔواالّذين يدعون من د ون االله فيسبّوا الله عدوابغيرعلم (الانعام : ١٠٨) Artinya : “Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan” ( QS .Al-An’Am : 108 ) 2. Hadis Rasulullah saw antara lain : انّ من١كبرالكباٮٔر١ن يلعن١لرّجل والديه٠قيل:يارسول١لله. كيف يلعن الرّجل و الديه? قل يسبّ اباالرّجل فيسبّ اباه. ويسبّ امّه فيسبّ امّه Artinya : “Sesungguhnya sebesar-besar dosa besar adalah seeorang melaknat kedua orang tuanya. Lalu Rasulullah saw. ditanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin seseorang akan melaknat Ibu dan bapaknya? Rasulullah saw. menjawab, “Seseorang yang mencaci maki ayah orang lain, maka ayahnya juga akan dicaci maki orang lain, dan seseorang yang mencaci maki ibu orang lain, maka orang lain pun akan mencaci maki ibunya”. ( HR. Bukhari, Muslilm, dan Abu Dawud ) Ulama Hanaiyah, Syafi’iyah dan Syi’ah dapat menerima sadd adz-dzari’ah dalam masalah-masalah tertentu saja dan menolaknya dalam masalah-masalah lain. Sedangkan Imam Syafi’i menerimanya apabila dalam keadaan udzur. Misalnya seorang musafir atau sakit dibolehkan meningalkan shalat Jum’at dan dibolehkan menggantinya dengan shalat zhuhur. Namun shalat zhuhurnya harus dilakukan secara diam-diam, agar tidak dituduh sengaja meninggalkan shalat jum’at. Menurut Husain Hamid, Ulama Hana iyah dan Sya i’iyah menerima sadd adz-dzari’ah apabila kemafsadatan yang akan muncul benar-benar akan tejadi atau sekurang-kurangnya kemungkinan besar (galabah al-zhan) akan terjadi. Dalam memandang dzari’ah, ada dua sisi yang dikemukakan oleh para ulama ushul : a. Motivasi seseorang dalam melakukan sesuatu. Contohnya, seorang laki-laki yang menikah dengan perempuan yang sudah ditalak tiga oleh suaminya yang pertama. Perbuatan ini dilarang karena motivasinya tidak dibenarkan syara’. b. Dari segi dampaknya (akibat), misalnya seorang muslim mencaci maka sesembahan orang sehingga orang musyrik tersebut akan mencaci maki Allah. Oleh karena itu, perbuatan seperti itu dilarang. Perbedaan pendapat antara Syafi’iyah dan Hanafiyah di satu pihak dnegan Malikiyah dan Hanabilah di pihak lain dalam berhujjah dengan sadd al-dzari’ah adalah dalam masalah niat dan akad. Menurut ulama Sya i’iyah dan Hanafiyah, dalam suatu transaksi yang dilihat adalah akad yang disepakati oleh orang yang betransaksi. Jika sudah memenuhi syarat dan rukun maka akad transaksi tersebut dianggap sah. Adapun masalah niat diserahkan kepada Allah. Menurut mereka, selama tidak ada indikasi-indikasi yang menunjuukan niat dari perilaku maka berlaku kaidah: المعتبرفى أوامرالله المعنى وا لمعتبرفى أمورالعبادالاسم وا للفظ Artinya : “Patokan dasar dalam hal-hal yang berkaitan dengan hak Allah adalah niat, sedangkan yang berkaitan dengan hak-hak hamba adalah lafalnya”. Akan tetapi jika tujuan orang yang berakad dapat ditangkap dari beberapa indikator yang ada, maka berlaku kaidah: العبرة فى العقودبالمقاصدوالمعانى لابالألفاظ والمبانى Artinya : “Yang menjadi patokan dasar dalam perikatan-perikatan adalah niat dan makna, bukan lafadz dan bentuk formal (ucapan)”. ( Al-Qarafi, II :32 ) Sedangkan menurut ulama malikiyah dan Hanabilah, yang menjadi ukuran adalah niat dan tujuan. Apabila suatu perbuatan sesuai dengan niatnya, maka sah. Namun apabila tidak sesuai dengan tujuan semestinya, tetapi tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa niatnya sesuai dengan tujuan tersebut, maka akadnya tetap dianggap sah, tetapi ada perhitungan antara Allah dan pelaku, karena yang paling mengetahui niat seseorang hanyalah Allah. Apabila ada indikator yang menunjukkan niatnya, dan niat itu tidak bertentangan dengan tujuan syara’, maka akadnya sah. Namun bila niatnya bertentangan dengan syara’, maka perbatannya dianggap fasid (rusak), namun tidak ada efek hukumnya. ( Aj-Jauziyyah, III: 114, 119 dan IV : 400 ) Golongan Zhahiriyah tidak mengakui kehujjahan sadd al-dzari’ah sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’. Hal ini sesuai dengan prinsip mereka yang hanya menggunakan nash secara harfiyah saja dan tidak menerima campur tangan logika dalam masalah hukum. ( Ibnu Hazm, IV : 745-757) 5. Fath Adz-Dzari’ah Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dan al-Qara i mengatakan bahwa dzari’ah itu adakalanya dianjurkan bahkan diwajibkan yang disebut fath al-dzari’ah. Misalnya meninggalkan segala aktivitas untuk melaksanakan shalat jum’at yang hukumnya wajib. Pendapat tersebut dibantah oleh Wahbah al-Juhaili yang menyatakan bahwa perbuatan seperti di atas tidak termasuk kepada dzari’ah, tetapi dikategorikan sebagai muqaddimah (pendahuluan) dari suatu pekerjaan. Apabila hendak melakukan suatu perbuatan yang hukumnya wajib, maka berbagai upaya dalam rangka melaksanakan kewajiban tersebut hukumnya wajib. Hal iin sesuai dengan kaidah: مالايتمّ ا لواجب الاّبه فهوواجب Artinya : “Apabila suatu perbuatan bergantung pada sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain itu pun wajib”. Begitu pula segala jalan yang menuju kepada sesuatu yang haram, maka sesuatu itu pun haram, sesuai dengan kaidah: مادلّ على حرام فهوحرام Artinya, “Segala jalan yang menuju terciptanya suatu pekerjaan yang haram, maka jalan itupun diharamkan”. Misalnya, seorang laki-laki haram berkhalwat dengan perempuan yang bukan muhrim atau melihat auratnya, karena hal itu akan membawa perbuatan haram yaitu zina. Menururt Jumhur, melihat aurat dan berkhalwat dengan perempuan yang bukan muhrim itu disebut pendahuluan kepada yang haram (muqaddimah al-hurmah). Para ulama telah sepakat tentang adanya hukum pendahuluan tersebut, tetapi mereka tidak sepakat dalam menerimanya sebagai dzari’ah. Ulama Malikiyah dan Hanabilah dapat menerima sebagai fath adz-dzari’ah, sedangkan ulama Syafi’iyah, Hanafiyah dan sebagian Malikiyah menyebutkan sebagai muqaddimah, tidak termasuk sebagai kaidah dzari’ah. Namun, mereka sepakat bahwa hal itu dapat dijadikan sebagai hujjah dalam menetapkan hukum. ( Aj-Juhaili: 874) BAB III PENUTUP KESIMPULAN Metode ijtihad yang keenam adalah Saad Adz-Dzari’ah. Dzari’ah ditinjau dari segi bahasa adalah jalan menuju sesuatu. Sebagian ulama mengkhususkan pengertian dzari’ah dengan sesuatu yang membawa pada perbuatan yang dilarang dan mengandung kemadaratan. Dzari’ah dibagi menjadi dua, yaitu sadd adz-dzari’ah (yang dilarang) dan fath adz-dzari’ah (yang dianjurkan). Sadd adz-Dzari’ah ialah melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemaslahatan menuju pada suatu kerusakan (kemafsadatan)”. Adapun kriteria yang menjadikan suatu perbuatan itu dilarang, yaitu: 1. Perbuatan yang tadinya boleh dilakukan itu mengandung kerusakan 2. Kemafsadatan lebih kuat dari pada kemashlahatan; dan 3. Perbuatan yang dibolehkan syara’ mengandung lebih banyak unsur kemafsadatan. Di kalangan ulama Ushul terjadi perbedaan pendapat dalam menetapkan kehujjahan sadd adz-dzari’ah sebagai dalil syara’. Ulama Malikiyah dan Hanabilah menerima kehujjahannya sebagai salah satu dalil syara’. Ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Syi’ah dapat menerima sadd adz-dzari’ah dalam masalah-masalah tertentu saja dan menolaknya dalam masalah-masalah lain. SARAN Pada saat pembuatan makalah Penulis menyadari bahwa banyak sekali kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Dengan sebuah pedoman yang bisa dipertanggungjawabkan dari banyaknya sumber Penulis akan memperbaiki makalah tersebut . Oleh sebab itu penulis harapkan kritik serta sarannya mengenai pembahasan makalah dalam kesimpulan di atas. DAFTAR PUSTAKA Abdul Wahhab Khalaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, alih bahasa Moch. Tolhah, dkk., Bandung, Risalah,1985 Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, 1998

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Tauhiid 1 ( Karakteristik Aqidah Islam)

Makalah Kaidah-Kaidah Ushul Fiqih

Makalah Hukum Syar'i - Ushul Fiqih