Makalah Ushuliyah dan Qaidah Fiqhiyah Al-Khams
Kata Pengantar
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh
Puji syukur mari kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang Maha Pemurah, karena atas Rahmat dan Karunia-Nya yang telah melimpahkan kesempatan dan pengetahuan sehingga Alhamdulillah makalah ini dapat diselesaikan pada waktunya. Sholawat serta salam tak lupa selalu kita panjatkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW.
Terima kasih pula kami haturkan kepada teman-teman yang telah membantu dan berkontribusi dengan memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun dan diselesaikan dengan baik.
Kami berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan dan ilmu kepada para pembaca. Namun terlepas dari itu, kami sangat memahami bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik.
Bandung, Januari 2020
A. QAIDAH AL-USHULIYAH
1. Pengertian Qaidah Ushuliyah
Qaidah ushuliyah merupakan gabungan dari kata Qaidah dan ushuliyah, kaidah dalam bahasa Arab ditulis dengan qaidah, artinya patokan, pedoman dan titik tolak. Ada pula yang mengartikan dengan peraturan. Bentuk jamak qa’idah (mufrad) adalah qawa’id. Adapun ushuliyah berasal dari kata al-ashl, artinya pokok, dasar, atau dalil sebagai landasan. Jadi, qaidah ushuliyah adalah pedoman untuk menggali dalil syara’, titik tolak pengambilan dalil atau peraturan yang dijadikan metode penggalian hukum, kaidah ushuliyah disebut juga sebagai kaidah Istinbathiyah atau ada yang menyebut sebagai kaidah lughawiyah, kaidah ushuliyah adalah dasar-dasar pemaknaan terhadap kalimat atau kata yang digunakan dalam teks atau nash yang memberikan arti hukum tertentu dengan didasarkan kepada pengamatan kebahasaan dan kesusastraan Arab. [1]
Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si.[2] mengemukakan pengertian kaidah menurut Ahmad Muhammad Asy-Syafi’i dan Fathi Ridwan. Pengertian kaidah menurut Ahmad Muhammad Asy-Syafi’i adalah sebagai berikut :
ﺍﻠﻘﺎﻋﺩﺓ : ﺍﻠﻘﻀﺎﻴﺎ ﺍﻠﻜﻠﻴﺔ ﺍﻠﺘﻲ ﻴﻨﺩﺭﺝ ﺘﺤﺕ ﻜﻝ ﻭﺍﺤﺩ ﻤﻨﻬﺎ ﺤﻜﻡ ﺠﺯﺌﻴﺎﺕ ﻜﺜﻴﺭﺓ
Artinya : “Hukum-hukum yang bersifat menyeluruh yang dijadikan jalan untuk terciptanya masing-masing hukum juz’i.”
Adapun menurut Fathi Ridwan pengertian kaidah itu adalah sebagai berikut :
ﺍﻠﻘﺎﻋﺩﺓ : ﺤﻜﻡ ﻜﻠﻲ ﻴﻨﻁﺒﻕ ﻋﻠﻰ ﺠﻤﻴﻊ ﺠﺯﺌﻴﺎﺘﻪ
Artinya : “Hukum-hukum yang bersifat umum yang meliputi bagian-bagiannnya.”
Antara pengertian kaidah menurut Ahmad Muhammad Asy-Syafi’i dengan pengertian kaidah menurut Fathi Ridwan penulis simpulkan terdapat persamaan di antara keduanya, bahwa kaidah itu adalah hukum-hukum yang bersifat umum dan menyeluruh.
Dalil syara’ itu ada yang bersifat menyeluruh, universal, dan global (kulli dan mujmal) dan ada yang hanya ditujukan bagi suatu hukum tertentu dari suatu cabang hukum tertentu pula. Dalil yang bersifat menyeluruh itu disebut pula qaidah ushuliyah. Qaidah ushuliyah adalah sejumlah peraturan untuk menggali hukum. Qaidah ushuliyah itu umumnya berkaitan dengan ketentuan dalalah lafadz atau kebahasaan.[3]
Kaidah-kaidah ushuliyah menurut Prof. Dr. Muhammad Syabir adalah sebagai suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang dengannya bisa sampai pada pengambilan kesimpulan hukum syar’iyyah al-Far’iyyah dan dalil-dalilnya yang terperinci.[4]
Dari beberapa pengertian mengenai kaidah ushuliyah di atas penulis simpulkan bahwa kaidah ushuliyah itu merupakan sejumlah peraturan untuk menggali dalil-dalil syara’ sehingga didapatkan hukum syara’ dari dalil-dalil tersebut.
2. Urgensi Qaidah Ushuliyah
Secara global, kaidah-kaidah ushul fiqh bersumber dari naql (Al-Qur’an dan Sunnah), ‘akal (prinsip-prinsip dan nilai-nilai), dan bahasa (ushul at-tahlil al-lughawi).[5] Qaidah ushuliyah itu berkaitan dengan bahasa. Dalam pada itu, sumber hukum adalah wahyu yang berupa bahasa. Oleh karena itu, qaidah ushuliyyah berfungsi sebagai alat untuk mengganti ketentuan hukum yang terdapat dalam bahasa (wahyu) itu. Mengetahui qaidah ushuliyyah dapat mempermudah Faqih untuk mengetahui hukum Allah dalam setiap peristiwa hukum yang dihadapinya.[6]
Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si[7] mengemukakan bahwa kaidah ushuliyah itu sangat penting karena kaidah ushuliyah itu merupakan alat untuk menggali kandungan makna dan hukum yang tertuang dalam nash Al-Qur’an dan As-Sunnah kaidah ushuliyah merupakan modal utama memproduk fiqh. Tanpa kaidah ushuliyah, pengamalan hukum Islam cenderung belum semuanya mengelupas jenis-jenis hukum suatu perbuatan. Beliau juga mengemukakan pendapat Abdul Wahhab Khallaf dan Abdul Hamid Hakim yang mengatakan bahwa penetapan hukum perintah, larangan, dan sebagainya, berikut penggalian dalil-dalil yang dijadikan hujjah syar’iyyah dalam hukum Islam merupakan fungsi utama dari kaidah ushuliyah.
3. Contoh Kaidah Qaidah Ushuliyah
Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si menjelaskan bahwa penerapan kaidah ushuliyah yang pertama adalah kaidah lughawiyah, yaitu kaidah bahasa yang berhubungan dengan kalimat-kalimat yang tersirat dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Adapun kaidah-kaidah tersebut adalah sebagai berikut:[8]
Kaidah ushuliyah yang berkaitan dengan amr yang menunjukkan kewajiban bagi mukallaf untuk mengamalkannya. Kaidah-kaidahnya adalah
ﺍﻻ ﺼﻝ ﻓﻲ ﺍﻻﻤﺭ ﻠﻠﻭﺠﻭﺏ
Artinya : “Asal dari perintah itu wajib”
Contohnya dalam surat Al-Baqarah ayat : 43
Kaidah kedua :
ﺍﻻ ﺼﻝ ﻓﻲ ﺍﻻﻤﺭ ﻠﻠﻨﺩ ﺏ
Artinya : “Asal dari perintah itu hukumnya sunnat.”
Contohnya dalam surat Al-Baqarah ayat 60.
Kaidah ushuliyah yang berhubungan dengan larangan (nahy)
ﺍﻻﺼﻝ ﻓﻲﺍﻠﻨﻬﻲ ﻠﻠﺘﺤﺭﻴﻡ
Artinya : “Asal dari larangan itu hukumnya haram.”
Contohnya larangan membuat kerusakan di muka bumi dalam surat Al-Baqarah ayat 11.
Kaidah yang menunjukkan pada umum yang melengkapi dan melingkupi semua yang khusus, misalnya kaidah :
ﺍﻠﻌﻤﻭﻡ ﻤﻥ ﻋﻭﺍﺭﺽ ﺍﻻﻠﻔﺎﻅ
Artinya: “Keumuman itu yang dimaksudkan adalah lafazhnya.”
ﺍﻠﻌﻤﻭﻡ ﻻﻴﺘﻭﺼﺭ ﻓﻲﺍﻻﺤﻜﺎﻡ
Artinya: “Keumuman itu tidak dapat menggambarkan suatu hukum.”
ﺍﻠﻌﺎﻡ ﻋﻤﻭﻤﻪ ﺸﻤﻭﻠﻲ ﻭﻋﻤﻭﻡ ﺍﻠﻤﻁﻠﻕ ﺒﺩﻠﻲ
Artinya: “Al-‘Am itu umumnya bersifat menyeluruh, sedangkan lafazh umum yang mutlak hanya bersifat sebagian.”
Kaidah yang berkaitan dengan khas atau khusus, misalnya :
ﺍﻥ ﺍﻠﺘﺨﺼﻴﺹ ﺍﻠﻌﻤﻭﻤﺎﺕ ﺠﺎﺌﺯ
Artinya: “Sesungguhnya pengkhususan lafazh umum adalah diperbolehkan.”
ﺍﻠﺼﻔﺔ ﻤﻥﺍﻠﻤﺨﺼﺼﺎﺕ
Artinya: “Sifat itu bagian dari pengkhususan.”
Kaidah muthlaq dan muqayyad, misalnya:
ﺍﻠﻤﻁﻠﻕ ﻴﺤﻤﻝ ﻋﻠﻰ ﺍﻠﻤﻘﻴﺩ ﺍﺫﺍ ﺍﺘﻔﻕ ﻓﻲ ﺍﻠﺴﺒﺏ ﻭﺍﻠﺤﻜﻡ
Artinya: “Mutlak itu dibawa ke muqayyad jika sebab dan hukumnya sama.”
ﺍﻠﻤﻁﻠﻕ ﻴﺤﻤﻝ ﻋﻠﻰ ﺍﻠﻤﻘﻴﺩ ﻭﺍﻥ ﺍﺨﺘﻠﻑ ﻓﻲ ﺍﻠﺴﺒﺏ
Artinya: “Mutlak itu dibawa ke muqayyad jika sebabnya berbeda.”
Kaidah mujmal dan mubayyin, misalnya :
ﺘﺄ ﺨﻴﺭ ﺍﻠﺒﻴﺎﻥ ﻋﻥ ﻭﻗﺕ ﺍﻠﺤﺎﺠﺔ ﻻﻴﺠﻭﺯ
Artinya: “Mengakhirkan penjelasan pada saat dibutuhkan itu tidak diperbolehkan.”
ﺘﺄ ﺨﻴﺭ ﺍﻠﺒﻴﺎﻥ ﻋﻥ ﻭﻗﺕ ﺍﻠﺨﻁﺎﺏ ﻴﺠﻭﺯ
Artinya: “Diperbolehkan mengakhirkan penjelasan pada saat dititahkan sesuatu.”
Kaidah yang berkaitan dengan muradif dan musytarak, misalnya:
ﺍﺴﺘﻌﻤﺎﻝ ﺍﻠﻤﺸﺘﺭﻙ ﻔﻲ ﻤﻌﻨﻴﻪ ﺍﻭﻤﻌﺎﻨﻴﻪ ﻴﺠﻭﺯ
Artinya: “Penggunaan musytarak pada yang dikehendaki ataupun beberapa maknanya itu diperbolehkan.”
Kaidah yang berkaitan dengan manthuq (tersurat/tekstual) mafhum (tersirat/kontekstual). Misalnya kaidah :
ﻭﺠﻤﻴﻊ ﻤﻔﺎﻫﻴﻡ ﺍﻠﻤﺨﺎﻠﻔﺔ ﺤﺠﺔ ﺍﻻ ﻤﻔﻬﻭﻡ ﺍﻠﻠﻘﺏ
Artinya: “Semua mafhum mukhalafah dapat dijadikan hujjah, kecuali mafhum laqab.”
Kaidah yang berhubungan dengan zhahir dan muawwal, misalnya:
ﺍﻠﻔﺭﻭﻉ ﻴﺩﺨﻠﻪ ﺍﻠﺘﺄﻭﻴﻝ ﺍﺘﻔﺎﻗﺎ
Artinya: “Masalah cabang dapat dimasuki takwil secara ittifaq.”
Kaidah yang berhubungan dengan nasikh-mansukh, misalnya:
ﺍﻠﻘﻁﻌﻲ ﻻﻴﻨﺴﺨﻪ ﺍﻠﻅﻥ
Artinya: “Dalil qath’i tidak dapat dihapus dengan dalil zhanni.”
ﺍﻠﻨﺴﺦ ﺒﻼ ﺒﺩﻝ ﻴﺠﻭﺭ
Artinya : “Penghapusan tanpa adanya pengganti diperbolehkan.”
Menurut beliau, selain kaidah lughawiyah, sebenarnya ada pula kaidah tasyri’iyah, tetapi acuan pokoknya tetap kaidah bahasa. Kaidah yang kedua ini akan penulis jelaskan secara terpisah di makalah ini setelah pembahasan kaidah ushuliyah.
Adapun contoh-contoh qaidah ushuliyyah yang dipaparkan oleh prof. Dr. Rachmat Syafe’i,MA. adalah sebagai berikut:[9]
a. Kaidah :
ﺍﻠﻌﺒﺭﺓ ﺒﻌﻤﻭﻡ ﺍﻠﻠﻔﻅ ﻻﺒﺨﺼﻭﺹ ﺍﻠﺴﺒﺏ
Artinya: “Yang dipandang dasar (titik talak) adalah petunjuk umum dasar lafazh bukan sebab khusus (latar belakang kejadian).
b. Kaidah :
ﺍﺫﺍ ﺍﺠﺘﻤﻊ ﺍﻠﻤﻘﺘﻀﻰ ﻭﺍﻠﻤﺎﻨﻊ ﻗﺩﻡ ﺍﻠﻤﺎﻨﻊ
Artinya : “Bila dalil yang menyuruh bergabung dengan dalil yang melarang maka didahulukan dalil yang melarang.”
c. Kaidah :
ﻻﻋﺒﺭﺓ ﻠﻠﺩﻻﻠﺔ ﻔﻲ ﻤﻘﺎﺒﻠﺔ ﺍﻠﺘﺼﺭﻴﺢ
Artinya: “Makna implisit tidak dijadikan dasar bila bertentangan dengan makna eksplisit.”
d. Kaidah :
ﺍﻠﻨﻜﺭﺓ ﻔﻲ ﻤﻘﺎﻡ ﺍﻠﻨﻔﻲ ﺘﻔﻴﺩ ﺍﻠﻌﻤﻭﻡ
Artinya : “Lafazh nakirah dalam kalimat negatif (nafi) mengandung pengertian umum.”
e. Kaidah :
ﺍﻠﻨﺹ ﻤﻘﺩﻡ ﻋﻠﻰ ﺍﻠﻅﺎﻫﺭ
Artinya : “Petunjuk nash didahulukan daripada petunjuk zahir.”
f. Kaidah :
ﺍﻻﻤﺭ ﻴﻔﻴﺩ ﺍﻠﻭﺠﻭﺏ
Artinya : “Petunjuk perintah (amr) menunjukan wajib.”
g. Kaidah :
ﻻﻤﺴﺎﻍ ﻠﻼ ﺠﺘﻬﺎﺩ ﻔﻰ ﻤﻭﺭﻭﺩ ﺍﻠﻨﺹ
Artinya : “Tidak dibenarkan berijtihad dalam masalah yang ada nash-nya.”
h. Kaidah :
ﺍﻠﻤﻁﻠﻕ ﻴﺤﻤﻝ ﺍﻠﻤﻘﻴﺩ
Artinya : “Dalalah lafazh mutlak dibawa pada dalalah lafazh muqayyah.”
Pengertian Ushuliyyah
Kaidah ushuliyyah adalah kaidah yang berkaitan dengan bahasa. Dan kaidah ushuliyyah ini juga merupakan kaidah yang sangat penting, karena kaidah ushuliyyah merupakan media atau alat untuk menggali kandungan makna dan hukum yang tertuang dalam nash Alquran dan As-Sunnah. Kaidah-kaidah ushuliyah di sebut juga kaidah Istinbat atau kaidah Lugawiyah.
Disebut kaidah istinbat karena kata istinbat bila dihubungkan dengan hukum, seperti dijelaskan oleh Muhammad bin ‘Ali al-Fayyumi (w.770 H) ahli Bahasa Arab dan Fikih, berarti upaya menarik hukum dari Alquran dan Sunnah dengan jalan Ijtihad. Secara garis besar, metode istibat dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu segi kebahasaan, segi maqasid (tujuan) syari’ah, dan segi penyelesaian beberapa dalil yang bertentangan[10].
Disebut kaidah lughawiyyah karena berdasarkan makna dan tujuan ungkapan-ungkapan yang telah di terapkan oleh para ahli bahasa Arab, sesudah diadakan penelitian-penelitian yang bersumber dari kesusasteraan Arab. Dalam hal ini para ulama ushul telah menjadi kebiasaan mereka membicarakan masalah bahasa dan pengertian pengertiannya terlebih dahulu sebab mereka sangat mementingkan untuk mengetahui ciri suatu lafaz (kata) atau uslub (gaya bahasa) karena ciri-ciri itu dapat memberi pengertian tertentu yang dipandang lebih tepat[12].
B. Kaidah-Kaidah Ushuliyyah
Ada beberapa kaidah-kaidah ushuliyyah, antara lain:
1. Am’ dan Khas
Menurut para ulama Ushul Fiqih ayat-ayat hukum bila dilihat dari segi cakupannya dapat dibagi kepada lafal umum (‘am) dan lafal khusus (khas)[13]
a. Pengertian am’ dan khas
1) Pengertian ‘Am
Ditinjau dari segi bahasa, kata ‘amm berarti yang umum, merata, dan menyeluruh. Sedangkan ‘amm menurut Istilah yaitu sebagaimana dipaparkan oleh Abdul Hamid sebagai berikut:
اَلْعَامُ هُوَاللَّفْظُ اْلمُسْتَغْرِقُ بِجَمِيْعِ ماَيَصْلُحُ لَهُ بِحَسْبِ وَضْعٍ وَاحِدٍ دَفْعَة
Artinya:
‘‘Amm adalah lafal yang menunjukkan pengertian umum yang mencakup satuan-satuan (afrad) yang ada dalam lafal itu tanpa pembatasan jumlah tertentu”.
Dengan pengertian lain, ‘am adalah kata yang memberi pengertian umum, meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam kata itu dengan tidak terbatas.Misalnya Al- Insan yang berarti manusia. Perkataan ini mempunyai pengertian umum, jadi semua manusia termasuk dalam tujuan perkataan ini,sekali mengucapkan lafadz Al- Insan berarti meliputi jenis manusia seluruhnya. Jadi, dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwasanya keumuman merupakan bagian dari sifat – sifat lafadz. Karena keumuman adalah dalalah lafadz terhadap penghabisan seluruh satuan – satuannya.Sesungguhnya lafadz apabila menunjukkan pada satu individu atau dua individu, atau jumlah terbatas daripada individu – individu maka ia tidaklah termasuk lafadz umum[14].
Pembahasan lafaz ‘am dalam kajian Ushul Fiqih mempunyai kedudukan tersendiri, karena lafaz ‘am mempunyai tingkat yang luas serta menjadiperdebatan panjang di kalangan ulama dalam menetapkan hukum. Di sisi lain, sumber hukum Islam baik dari Alquran maupun hadis dalam banyak hal memakai lafaz umum yang bersifat universal dan cosmopolitan. Jumhur ulama menetapkan bahwa lafaz umum itu sebenarnya mempunyai bentuk-bentuk obyek tertentu walaupun tanpa qarinah. Sedangkan menurut Muhammad Ibnu Muntab dari golongan Malikiyah, dan Muhammad Ibnu Syuja’ dari golongan Hanafiyah menyatakan bahwa umum itu tidak mempunyai bentuk-bentuk tertentu kecuali menggunakan penyertaan.
2) Pengertian Khas
Khas adalah isim fail yang berasal dari kata kerja :خَصَّصَ – يُخْصِّصُ – يُخْصِيْصًا - خَاصِّ
"“ yang mengkhususkan atau menentukan”.
Seperti dikemukakan Adib Saleh, lafal khas adalah lafal yang mengandung satu pengertian secara tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas. Para ulama sepakat, seperti yang disebutkan Abu zahrah, bahwa lafal khas dalam nash syara’ menunjuk pada pengertiannya yang khas secara qath’i (pasti) dan hukum yang dikandungnya bersifat pasti pula selama tidak ada indikasi yang menunjukkan pengertian lain[15]
Adapun lafadz Khas menurut bahasa ialah lafadz yang menunjukkan arti yang tertentu, tidak meliputi arti umum, dengan kata lain, khas itu kebalikan dari `âm. Menurut istilah, definisi khas adalah lafadh yang diciptakan untuk menunjukkan pada perseorangan tertentu. Seperti Muhammad. Atau menunjukkan satu jenis, seperti lelaki. Atau menunjukkan beberapa satuan terbatas, seperti tiga belas, seratus, sebuah kaum, sebuah masyarakat, sekumpulan orang, sekelompok orang dan lain sebagainya yang terdiri dari lafadz yang menunjukkan sejumlah individu dan tidak menunjukkan terhadap seluruh individu. Artinya tidak mencakup semua, namun hanya berlaku untuk sebagian tertentu.
Dari definisi yang dikemukakan tersebut mengidenfikasikan bahwa lafaz musyatarak dan lafaz am tidak masuk dalam defines ini karena lafdz musyatarak mengandung beberapa kemungkinan makna. Sedangkan lafaz am mengandung arti secara umum dan tidak tertentu dari lafaz itu. Adapun dari cara penunjukan lafaz atas suatu arti ini bisa dalam berbagai bentuk yaitu bentuk genius seperti lafaz insanun yang diperuntukan untuk hewan yang berfikir atau berbentuk spesies (nau) seperti kata laki-laki dan perempuan atau dalam bentuk personal yang berbeda-beda tetapi terbatas seperti bilangan angka (1, 3, 10. 80. 1000) dan seterusnya.
b. Hukum ‘Am dan Khas
1) Hukum Am’
Para Ulama sepakat bahwa lafazh ‘am yang disertai qarinah (indikasi) yang menunjukkan penolakan adanya takhsis adalah qat’i dilalah. Mereka pun sepakat bahwa lafazh ‘am yang disertai qarinah yang menunjukkan bahwa yang dimaksudnya itu khusus, mempunyai dilalah yang khusus pula. Yang menjadi perdebatan pendapat disini ialah lafazh ‘am yang mutlaq tanpa disertai suatu qarinah yang menolak kemungkinan adanya takhsis, atau tetap berlaku umum yang mencakup satuan-satuannya[16].
Menurut Hanafiyah dilalah ‘am itu qath’i, yang dimaksud qath’i menurut hanafiyah ialah :“Tidak mencakup suatu kandungan, yang menimbulkan suatu dalil.
Namun, bukan berarti tidak ada kemungkinan takhsis sama sekali. Oleh karena itu, untuk menetapkan ke-qath’i-an lafazh ‘am, pada mulanya tidak boleh di takhsis sebab apabila pada awalnya sudah dimasuki takhsis, maka dilalahnya zanni.
Mereka beralasan, ”sesungguhnya suatu lafazh apabila dipasangkan pada suatu makna itu berketetapan yang pasti, sampai ada dalil yang mengubahnya.
Berdasarkan penelitian terhadap nash telah diperoleh ketetapan bahwa lafaz yang umum (amm) ada tiga macam, yaitu:
a) Lafaz amm yang dimaksudkan keumumannya secara pasti, yaitu lafaz amm yang disertai oleh qarinah yang menghilangkan kemungkinan pentakhsisannya.
b) Lafaz yang umum yang dikehendaki kekhususannya secara pasti. Yakni lafaz umum yang disertai oleh qarinah yang menghilangkan keumumannya dan menjelaskan bahwa yang dimaksud dari lafaz itu adalah sebagainnya.
c) Lafaz amm (umum) yang ditakhisis, yaitu lafaz yang umum yang bersifat muthlaq, dan tidak ada qarinah yang menyertainya yang menyertainya yang meniadakan kemungkinan pengtakhsisannya, maupun qarinah yang menghilangan dalam umumnya.
2) Hukum Khas
Lafaz yang terdapat pada nash menunjukkan satu makna tertentu dengan pasti selama tidak ada dalil yang mengubah maknanya. Dengan semikian, apabila ada suatu kemungkinan arti lain yang tidak berdasar pada dalil, maka ke qathian dilalahnya tidak terpengaruhi.
Oleh karena itu, apabila lafaz khas dikemukakan dalam bentuk mutlaq, tanpa batasan apapun, maka lafaz itu memberi faedah hukum secara mutlak selama tidak ada dalil yang membatasinya. Dan bila lafaz itu dikemukakan dalam bentuk perintah, maka ia menunjukkan berupa tuntutan kewajiban bagi orang yang diperintahkan (ma’mur bih)selama tidak ada dalil yang memalingkannya dari makna yang lain yang dikandungnya. Demikian juga, jika lafaz itu dalam bentuk laragan (nahy), maka ia menunjukkan keharaman untuk dilakukan dari perbuatan itu selama tidak ada indikasi (qarinah) yang merubah makna itu.
Kata tsalasah mengandung pengertian khas yang tidak mungkin mengandung arti lebih atau kurang dari makna yang di kehendaki oleh lafaz itu sendiri yaitu tiga. Oleh karena itu, penunjukkan makna yang dikandungnya adalah sesuatu yang pasti (qath’i).
Terhadap adanya kemungkinan untuk ditakwil dalam lafaz khas, para pengikut mazhab Hanafi telah memalingkan arti lafaz khas tersebut dari maknanya yang haqiqi dalam beberapa nash karena adanya qarinah yang mengharuskan pemalingan artinya yang hakiki dan karena adanya maksud untuk memberi makna yang lain melalui maksud yang terkandung dalam dalil tersebut.
Hukum lafaz khas secara garis besar adalah bahwasannya apabila ada nash syar’i, maka ia menunjukkan dengan dalalah yang qath’i terhadap maknanya yang khusus yang ditetapkannya untuknya secara hakekat. Sedangkan hukum bagi madlulnya (yang ditunjukinya) tetap secara pasti, bukan dengan jalan zhann (dengan kuat)[7].
Hukum yang diambil hadis Nabi saw:
Artinya:
”Pada tiap-tiap empat puluh ekor kambing adalah seekor kambing”.
Adalah penentuan nishab kambing yang wajib dikeluarkan zakatnya yaitu: empat puluh ekor kambing. Penentuan yang wajib adalah seekor kambing, tidak mengandung kemungkinan lebih atau kurang, baik pada yang ini maupun yang itu.
Akan tetapi apabila ada dalil yang menuntut pentrakwilan lafaz yang khusus ini, maksudnya dibawakan kepada pengertian yang dituntut oleh dalil itu. Misalnya hal ini ialah penjelasan yang telah kami kemukakan dalam mentakwilkan ”kambing” dalam hadis terdahulu oleh ulama Hanafiyyah, dengan sesuatu yang meliputinya dan meliputi segala bentuk penggantian yang sebanding dengan sesuatu yang dirusakkan.
c. Kedudukan ’Am dan Khas
1) Kedudukan ’Am
Pada dasarnya pada pemahaman dalalah lafal al-‘am, ulama ushul telah sepakat bahwa keumuman lafal nash itu tetap saja dalam keumumannya jika tidak ada dalil yang dapat dijadikan sebagai dasar pengkhususannya. Akan tetapi, kalangan jumhur menegaskan sedapat mungkin keumuman lafal nash itu harus diupayakan mencari takhsisnya, baik dengan akal, adat maupun dengan nash itu sendiri.
Persoalannya sekaran adalah apakah lafal al-‘am itu qhat’i atau zhanny? Tentang hal ini kalangan ulama berbeda pendapat. Menurut ulama dari mazhab Hanafi, bahwa dalalah lafaz al-‘am itu adalah qhat’i bukan zhanny dan ia seperti dalalah lafaz al-kahs dari segi maknanya. Kalangan ulama hanafi seperti dijelaskan oleh Zaky al-Din Sya’ban, beralasan bahwa, sesungguhnya lafal al-‘am itu mengandung makna yang pasti, tegas sampai ada dalil yang menyalahinya. Atas dasar ini kalangan ulama Hanafi mengemukakan kaidah:
“ apa bila terdapat suatu lafal yang umum, maka maksud seluruh satuan –satuan yang erdapat didalamnya adalah qhat’i sampai ada dalil yang mengkhususkan dan membatasi sebagian dari satuan-satuan yang tercakup didalamnya”.
Kemudian dari kalangan jumhur ulama, seperti dari mazhab syafi’i menyatakan bahwa dalalah lafal al-‘am itu adalah zhanny buka qhat’i. oleh karena itu setiap lafal al-‘am haruslah di takhsis sebelum diamalkan.
Kalangan Syafi’iyah , malah menegaskan:
مَامِنْ عَامٍ إِلَّا وَقَدْ خُصَّ مِنْهُ الْبَعْضَ
“lafal al-‘am tidak dapat diamalkan, kecuali setelah dikhususkan sebagian dari satuan-satuannya”.[8]
Dari pandangan syafi’iyah ini jelas bahwa bagaimanapun juga lafal al-‘am itu, sedapat mungkin harus di khususkan, karena keadaan zhanny.
Menurut jumhur ulama (Malikiyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah) bahwa dilalah ’am itu adalah dzanni. Dengan alasan, dilalah ’am itu termasuk bagian dari dilalah dzahir yang mempunyai kemungkinan untuk ditakhshish. Dan kemungkinan tersebut pada lafaz am banyak sekali bisa ditemukan. Selama kemungkinan tetap ada, maka tidak dapat dibenarkan untuk menyatakan bahwa dilalahnya adalah qathi.
Oleh karena itu, mereka mengemukakan sebuah statemen qaedah yang berbunyi:
مَامِنْ عَامٍ إِلَّا وَقَدْ خُصَّ مِنْهُ الْبَعْضَ
Terjemahnya:
“ Tidak ada suatu lafaz am kecuali sudah dimunkinkan untuk di takhsis”.[9]
Pakar Ushul Fiqih dari kalangan Hanafiyah membantah argument tersebut dengan alasan bahwa: “Kemungkinan tersebut tidak dapat dibenarkan, sebab timbulnya dari ucapan pembicaraan bukan yang muncul dari dalil itu sendiri”[10].
Konsekuensi dari pendapat ini ialah tidak sah mentakhshishkan lafaz yang umum pada pentakhsishan yang pertama kali dengan dalil zhanni. Sebab dalil zhanni tidak dapat mentakhshiskan dalil yang qath’i. selanjutnya sah mentakhshiskannya dengan dalil zhanni pada pentakhsishkan yang kedua dan ketiga. Karena setelah pentakhshishan yang pertama, lafaz yang umum itu menjadi zhanni pula. Konsekuensinya lagi, bahwa bisa saja terjadi pertentangan antara lafaz umum yang belum ditakhshish dengan lafaz yang khas (yang bersifat khusus) yang qath’i, sebab kedua-duanya adalah dalil qath’i.
Hujjah mereka terhadap pendapat mereka ialah: bahwasanya lafaz yang umum pada hakekatnya ditetapkan untuk menghabiskan seluruh satuan yang berkenaan dengan maknanya. Sedangkan lafaz ketika dimutlakkan, maka ia menunjukkan atas maknanya secara hakiki dengan pasti.Lafaz yang umum yang terlepas dari qarinah yang mengkhususkannya menunjukkan keumumannya secra pasti. Ia tidak boleh dipalingkan dari maknanya yang hakiki kecuali dalil. Oleh karena inilah, maka para sahabat, tabi’in, dan imam-imam mujtahid beristindal dengan keumuman lafaz-lafaz yang umum yang terdapat dalam nash secara mutlak dari takhshish. Nereka mengingkari pentakhshishannya tanpa dalil. Apabila lafaz yang umum ditakhshish dengan dalil, maka hal ini menunjukkan pemaligannya dari maknanya yang hakiki, yaitu keumumannya, dan menujjukan pada penggunaannya dalam pengertian yang majazi, yaitu makna khusu. Selanjutnya ia mengandung kemungkinan untuk ditakhshiskan pada kedua kalinya, diqiyaskan pada pentakhshishan yang pertama.
Sebab illat ( alasan) pada takhshish yang pertama mungkin saja terwujud pada satuan yang lainnya. Jadi, seakan-akan takhshish yang pertama membuka lubang pada keumumannya dan memberikan peluang bagi pembukaan lubang-lubang lainnya. Oleh karena inilah, maka lafaz yang umum ditakhshishkan menjadi zhanni dalalahnya terdapat sesuatau yang tersisa setelah takhshish.
2) Kedudukan Khas
Menurut jumhur ulama, arti kata empat puluh ekor kambing dan seekor kambing, keduanya adalah lafadh khas. Karena kedua lafadh tersebut tidak mungkin diartikan lebih atau kurang dari makna yang ditunjuk oleh lafadh itu sendiri.
Dengan demikian, dalalah lafadh tersebut adalah qath’iy. Tetapi menurut Ulama Hanafiyah, dalam hadits tersebut terdapat qarinah yang mengalihkan kepada arti yang lain. Yaitu bahwa fungsi zakat adalah untuk menolong fakir miskin. Pertolongan itu dapat dilakukan bukan hanya dengan memberikan seekor kambing, tetapi juga dapat dengan menyerahkan harga seekor kambing yang dizakatkan.
Pertanyaan yang muncul apakah dalalah al-khas mengandung petunjuk qhat’i, bukan zhanny, kecuali ada dalil yang memalingkan kepada arti lain. Seperti di jelaskan oleh Imam Muhammad Abu Zahra, bahwa dalalah lafal al-khas adalah qhat’i (jelas, tegas). Menurut Zahra hal ini tidak terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama. Demikian juga yang di jelaskan oleh Zaky al-Din Sya’ban bahwa lafal al-Khas menunjukan kecuali ada dalil lain yang mengubahnya.Apa yang dinyatakan Zaky al-Din Sya’ban ini dapat dipahami bahwa meskipun lafal al-Khas tersebut dalalahnya qhat’i, tetapi ada kemungkinan mengalami perubahan jika ada dalil lain yang dapat dijadikan alasan untuk itu. Yang menjadi permasalahan adalah apakah perubahan dalalah lafal al-khas yang qhat’i kepada arti lain dapat dibenarkan atau tidak?
Dalam hubungan ini ulama berbeda pendapat. Sebagian berpendapat bahwa arti qhat’i yang ditunjukan oleh dalalah lafal al-khas tidak dapat dirubah kepada arti lain, karena ia sudah pasti. Dalam hal ini, Zaky al-Din Sya’ban sendiri kelihatannya mendukung pendapat yang disebut terakhir ini.
Golongan syafiiyah memandang bahwa lafaz khas itu mempunyai kemungkinan adanya penjelasan atau perubahan, maka dari sisi ini mereka memandang lafaz khas itu sebagai lafaz mujmal. Oleh karena sebab itu, mereka menerima kemungkinan adanya penambahan atas lafaz khas yang terdapat dalam Alquran dengan hadis ahad yang merupakan penjelesannya. Maka menurut golongan ini, tuma’ninah yang diisyaratkan oleh hadis tersebut merupakan penjelasan terhadap ayat Alquran dan termasuk fardu dalam ruku’.
2. Amr dan Nahi
Para pakar Ushul Fiqih menyatakan bahwa hukum syar’I itu adalah khitab ( titah) Allah yang berhubungan dengan perbuatan muallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan dan ketentuan[11].
Khitab dalam bentuk tuntutan ada dua bentuk, yaitu tuntutan untuk mengerjakan dan tuntutan untuk meninggalkan. Setiap tuntutan mengandung taklif (beban hukum) atas pihak yang dituntut, dalam hal ini adalah manusia mukallaf. Tuntutan yang mengandung beban hukum untuk dikerjakan disebut perintah atau ‘amar’. Sedangkan tuntutan yang mengandung beban hukum untuk ditinggalkan disebut larangan atau ‘nahy’.
a. Pengertian Amr dan Hani
1) Pengertian Amr
Dalam setiap kata amar mengandung tiga unsur, yaitu: pertama, yang mengucapkan kata amar atau yang menyuruh. Kedua, yang dikenal kata amar atau yang disusun. Ketiga, ucapan yang digunakan dalam suruhan itu.[12]
Lafaz Amar secara bahasa الامر yang berarti perintah atau suruhan. Amar adalah kebalikan dari Nahi yaitu yang berarti larangan. Sedangkan secara istilah, para ulama banyak yang mendefinisikan Amar tersebut diantaranya:
امر هو يطلب به الآعلى ممن هوأدنى منه فعلا غير كفٍ
“Amar adalah suatu lafaz yang dipergunakan oleh orang yang lebih tinggi derajatnya kepada orang yang lebih rendah untuk meminta bawahannya mengerjakan suatu pekerjaan yang tidak boleh ditolak”.[13]
Berdasarkan beberapa definisi amar tersebut dapat kita simpulkan adalah lafaz amar yaitu suatu lafaz yang dipergunakan oleh orang yang lebih tinggi derajatnya kepada orang yang lebih rendah untuk meminta bawahannya mengerjakan suatu pekerjaan yang harus dikerjakannya.
Menurut mayoritas ulama ushul fiqih, amar adalah : suatu tuntutan (perintah) untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya. Perintah untuk melakukan suatu perbuatan, seperti dikemukakan oleh Khudari Bik dalam bukunya Tarikh al-Tasyri, disampaikan dalam berbagai redaksi antara lain:
a) Perintah tegas dengan menggunakan kata amara (امر) dan yang seakar dengannya. misalnya dalam ayat:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Terjemahnya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah larang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi ganjaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”. (QS. An-Nahl/16:90)
b) Perintah dalam bentuk pemberitaan bahwa perbuatan itu diwajibkan atas seseoarang dalam dengan memakai kata kutiba (كتب/diwajibkan). Misalnya, dalam surat al-Baqarah ayat 178:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأنْثَى بِالأنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ
مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ
فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Terjemahnya:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih”. (QS. al-Baqarah/2:178)
c) Perintah dengan memakai redaksi pemberitaan (jumlah khabariyah), namun yang dimaksud adalah perintah. Misalnya, ayat 228 surat al-Baqarah:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ وَلا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاحًا وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Terjemahnya:
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. al-Baqarah/2:228)
d) Perintah dengan memakai kata kerja perintah secara langsung. Misalnya, ayat 238 surat al-Baqarah:
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ
Terjemahnya:
Peliharalah segala salat (mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah karena Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk. (QS. al-Baqarah/2:238).
e) Perintah dalam bentuk menjanjikan kebaikan yang banyak atas pelakunya. Misalnya, ayat 245 surat al-Baqarah:
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Terjemahnya:
Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan. (QS. al-Baqarah/2:245)
2) Pengertian Nahi
Nahi adalah suatu lafaz yang mengandung makna tuntutan meninggalkan sesuatu perbuatan. Nahi yaitu larangan, meninggalkan suatu perbuatan yang dilarang untuk melakukannya. Mayoritas ulama ushul fiqih mendefinisikan nahi sebagai:
Larangan melakukan suatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya dengan kalimat yang menunjukkan atas hal itu.[14]
Dalam melarang suatu perbuatan, seperti disebutkan oleh Muhammad Khudri Bik. Allah juga memakai berbagai ragam bahasa. Diantaranya adalah:
1) Larangan secara tegas dengan memakai kata naha(نهي) atau yang seakar dengannya yang secara bahasa berarti melarang. Misalnya surat an-Nahl ayat 90:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Terjemahnya:
"Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran” .(QS an-Nahl/16:90).
Nabi Saw bersabda yang artinya:
“Dari Abi Sa’id Al-Khudri r.a. ia berkata:”Saya telah mendengar Rasulullah SAW. Bersabda “barang siapa diantara kalian melihat kemungkaran hendaklah dia merubahnya dengan tangannya, jika dia tidak mampu, maka dengan lidahnya, dan jika tidak sanggup, maka dengan hatinya. Namun, yang demikian (merubah kemungkaran dengan hati) yaitu adalah selemah-lemahnya iman.”(H.R. Muslim).
2) Larangan dengan menjelaskan bahwa sesuatu perbuatan itu diharamkan(حرم). Misalnya, ayat 33 surat al-A’raf:
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ
مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ
Terjemahnya:
Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak atau pun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui".(QS. al-A’raf/7:33).
b. Hukum Amr dan Nahi
1) Hukum Amr
Suatu bentuk perintah, seperti dikemukakan oleh Muhammad Adib Saleh, Guru Besar Ushul Fiqih Universitas Damaskus, bida digunakan untuk berbagai pengertian, yaitu antara lain :
a) Mennjukkan hukum wajib seperti perintah untuk salat.
b) Untuk menjelaskan bahwa sesuatu itu boleh dilakukan, seperti ayat 51 Surah Al-Mukminun:
يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
Terjemahnya:
”Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Mukminun/23: 51)
c) Sebagai anjuran, seperti dalam ayat 282 surah al-Baqarah:
Terjemahnya:
” Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”. (QS. Al-Baqarah/2: 282)
d) Untuk melemahkan, misalnya ayat 23 Surah al-Baqarah:
وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْصَادِقِينَ
Terjemahnya:
”Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Alquran yang kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Alquran itu dan ajaklah penolong-penolonmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar”. (QS. Al-Baqarah/2: 23)
e) Sebagai ejekan dan penghinaan, misalnya firman Allah berkenaan dengan orang yang ditimpa siksa di akhirat nanti sebagai ejekan atas diri mereka dalam surah al-Dukhan ayat 49:
Terjemahnya:
”Rasakanlah, sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia”. (QS. Al-Dukhan/44: 49)
2) Hukum Nahi
Seperti dikemukakan Adib Saleh, bahwa bentuk larangan dalam penggunaannya menunjukkan berbagai pengertian, antara lain:
a) Menunjukkan hukum haram, misalnya surat al-Baqarah ayat 221
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik,”
b) Sebagai anjuran untuk meninggalkan, seperti al-Maidah :101
Terjemahnya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”
c) Penghinaan, dalam surat at-Tahrim ayat 7
Terjemahnya:
“Hai orang-orang kafir, janganlah kamu mengemukakan uzur pada hari ini. Sesungguhnya kamu Hanya diberi balasan menurut apa yang kamu kerjakan”.
Seperti dikemukakan Adib Saleh, bahwa bentuk larangan dalam penggunaannya mungkin menunjukkan berbagai pengertian, antara lain:
1) Untuk menunjukkan hukum haram misalnya ayat 221 surat al-Baqarah:
وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ
حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ
وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Terjemahnya:
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”. (QS. al-Baqarah/2:221)
2) Sebagai anjuran untuk meninggalkan, misalnya ayat 101 surat al-Maidah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ وَإِنْ تَسْأَلُوا عَنْهَا حِينَ يُنَزَّلُ الْقُرْ
آنُ تُبْدَ لَكُمْ عَفَا اللَّهُ عَنْهَا وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ
Terjemahnya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Qur'an itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu. Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun”.(QS. al-Maidah/5:101)
3) Penghinaan, contohnya ayat 7 surat al-Tahrin.
4) Untuk menyatakan permohonan, misalnya ayat 286 surat al-Baqarah.
c. Kedudukan Amr dan Nahi
1) Kedudukan Amr
Apabila dalam nash (teks) syara’ terdapat salah satu dari bentuk perintah tersebut, maka seperti dikemukakan Muhammad Adib Saleh, ada beberapa kaidah yang mungkin bisa diberlakukan.[15]
Kaidah pertama meskipun dalam suatu perintah bisa menunjukan bebagai pengertian, namun pada dasarnya suatuperintah menunjukan hukum wajib dilaksanakan kecuali ada indikasi atau dalil yang memalingkannya dari hukum tersebut. Kesimpulan ini, di samping didasarkan atas kesepakatan ahli bahasa, juga atas ayat 62 surat an-Nur yang mengancam dan menyiksa orang-orang yang menyalahi perintah Allah. Adanya ancaman siksaan itu menunjukan bahwa suatu perintah wajib dilaksanakan.
Contoh perintah yang terbebas dari indikasi yang memalingkan dari hukum wajib adalah ayat 77 surat an-Nisa:
... Dan dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat...(QS.an-Nisa/3:77)
Ayat tersebut menunjukkan hukum wajib mendirikan solat lima waktu dan menunaikan zakat.
Kaidah kedua adalah suatu perintah haruskah dilakukan berulang kali atau cukup dilakukan sekali saja?, menrt para ulama Ushul Fiqih, pada dasarnya suatu perintah tidak menunjukkan berulang-kali dilakukan kecuali ada dalil untuk itu. Karena suatu perintah hanya menunjukkan perlu terwujudnya perbuatan yang diperintahkan itu dan hal itu sudah bisa tercapai meski pun hanya dilakukan satu kali. Contohnya ayat 196 surat al-Baqarah:
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّه...
Terjemahnya:
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan `umrah karena Allah. (QS. al-Baqarah”/2:196)
Menurut sebagian ulama, antara lain Abu al-Hasan al-Karkhi. Seperti di nukil Muhammad Adib Shalih, bahwa suatu perintah menunjukkan hukum wajib segera dilakukan. Menurut pendapat ini barang siapa yang tidak segera melakukan di awal waktunya maka ia berdosa.
2) Kedudukan Nahi
Para ulama Ushul Fiqh merumuskan beberapa kaidah yang berkenaan dengan larangan, antara lain:
Kaidah pertama, الأصل فى النهى للتحريم, pada dasarnya suatu larangan menunjukkan hukum haram melakukan perbuatan yang dilarang kecuali ada indikasi yang menunjukkan hukum lain. Contohnya ayat 151 surat al-An’am.
“dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar”
Contoh larangan yang disertai indikasi yang menunjukkan hukum selain haram, dalam surat al-Jum’ah : 9
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli[1475]. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui.”
Kaidah kedua,الأصل فى النهى يطلق الفساد مطلقا, suatu larangan menunjukkan fasad (rusak) perbuatan yang dilarang itu jika dikerjakan. Kaidah ini disepakati bilamana larangan itu tertuju kepada zat atau esensi suatu perbuatan, bukan terhadap hal-hal yang terletak diluar esensi perbuatan itu.
Kaidah ketiga,النهي عن الشيئ أمر بضده, suatu larangan terhadap suatu perbuatan berarti perintah terhadap kebalikannya. Seperti dalam surat Luqman : 18
“dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh”
Larangan tersebut mengajarkan agar berjalan di permukaan bumi dengan rendah hati dan sopan.
i. Kaidah :
ﺍﻻﻤﺭ ﺒﺎﻠﺸﻴﺊ ﻨﻬﻲ ﻋﻥ ﻀﺩﻩ
Artinya : “Perintah terhadap sesuatu berarti larangan atas kebalikannya. Pengertian Ushuliyyah
Kaidah ushuliyyah adalah kaidah yang berkaitan dengan bahasa. Dan kaidah ushuliyyah ini juga merupakan kaidah yang sangat penting, karena kaidah ushuliyyah merupakan media atau alat untuk menggali kandungan makna dan hukum yang tertuang dalam nash Alquran dan As-Sunnah. Kaidah-kaidah ushuliyah di sebut juga kaidah Istinbat atau kaidah Lugawiyah.
Disebut kaidah istinbat karena kata istinbat bila dihubungkan dengan hukum, seperti dijelaskan oleh Muhammad bin ‘Ali al-Fayyumi (w.770 H) ahli Bahasa Arab dan Fikih, berarti upaya menarik hukum dari Alquran dan Sunnah dengan jalan Ijtihad. Secara garis besar, metode istibat dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu segi kebahasaan, segi maqasid (tujuan) syari’ah, dan segi penyelesaian beberapa dalil yang bertentangan.
Disebut kaidah lughawiyyah karena berdasarkan makna dan tujuan ungkapan-ungkapan yang telah di terapkan oleh para ahli bahasa Arab, sesudah diadakan penelitian-penelitian yang bersumber dari kesusasteraan Arab. Dalam hal ini para ulama ushul telah menjadi kebiasaan mereka membicarakan masalah bahasa dan pengertian pengertiannya terlebih dahulu sebab mereka sangat mementingkan untuk mengetahui ciri suatu lafaz (kata) atau uslub (gaya bahasa) karena ciri-ciri itu dapat memberi pengertian tertentu yang dipandang lebih tepat.
B. Kaidah-Kaidah Ushuliyyah
Ada beberapa kaidah-kaidah ushuliyyah, antara lain:
1. Am’ dan Khas
Menurut para ulama Ushul Fiqih ayat-ayat hukum bila dilihat dari segi cakupannya dapat dibagi kepada lafal umum (‘am) dan lafal khusus (khas)
a. Pengertian am’ dan khas
1) Pengertian ‘Am
Ditinjau dari segi bahasa, kata ‘amm berarti yang umum, merata, dan menyeluruh. Sedangkan ‘amm menurut Istilah yaitu sebagaimana dipaparkan oleh Abdul Hamid sebagai berikut:
اَلْعَامُ هُوَاللَّفْظُ اْلمُسْتَغْرِقُ بِجَمِيْعِ ماَيَصْلُحُ لَهُ بِحَسْبِ وَضْعٍ وَاحِدٍ دَفْعَة
Artinya:
‘‘Amm adalah lafal yang menunjukkan pengertian umum yang mencakup satuan-satuan (afrad) yang ada dalam lafal itu tanpa pembatasan jumlah tertentu”.
Dengan pengertian lain, ‘am adalah kata yang memberi pengertian umum, meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam kata itu dengan tidak terbatas.Misalnya Al- Insan yang berarti manusia. Perkataan ini mempunyai pengertian umum, jadi semua manusia termasuk dalam tujuan perkataan ini,sekali mengucapkan lafadz Al- Insan berarti meliputi jenis manusia seluruhnya. Jadi, dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwasanya keumuman merupakan bagian dari sifat – sifat lafadz. Karena keumuman adalah dalalah lafadz terhadap penghabisan seluruh satuan – satuannya.Sesungguhnya lafadz apabila menunjukkan pada satu individu atau dua individu, atau jumlah terbatas daripada individu – individu maka ia tidaklah termasuk lafadz umum.
Pembahasan lafaz ‘am dalam kajian Ushul Fiqih mempunyai kedudukan tersendiri, karena lafaz ‘am mempunyai tingkat yang luas serta menjadiperdebatan panjang di kalangan ulama dalam menetapkan hukum. Di sisi lain, sumber hukum Islam baik dari Alquran maupun hadis dalam banyak hal memakai lafaz umum yang bersifat universal dan cosmopolitan. Jumhur ulama menetapkan bahwa lafaz umum itu sebenarnya mempunyai bentuk-bentuk obyek tertentu walaupun tanpa qarinah. Sedangkan menurut Muhammad Ibnu Muntab dari golongan Malikiyah, dan Muhammad Ibnu Syuja’ dari golongan Hanafiyah menyatakan bahwa umum itu tidak mempunyai bentuk-bentuk tertentu kecuali menggunakan penyertaan.
2) Pengertian Khas
Khas adalah isim fail yang berasal dari kata kerja :خَصَّصَ – يُخْصِّصُ – يُخْصِيْصًا - خَاصِّ
"“ yang mengkhususkan atau menentukan”.
Seperti dikemukakan Adib Saleh, lafal khas adalah lafal yang mengandung satu pengertian secara tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas. Para ulama sepakat, seperti yang disebutkan Abu zahrah, bahwa lafal khas dalam nash syara’ menunjuk pada pengertiannya yang khas secara qath’i (pasti) dan hukum yang dikandungnya bersifat pasti pula selama tidak ada indikasi yang menunjukkan pengertian lain[5]
Adapun lafadz Khas menurut bahasa ialah lafadz yang menunjukkan arti yang tertentu, tidak meliputi arti umum, dengan kata lain, khas itu kebalikan dari `âm. Menurut istilah, definisi khas adalah lafadh yang diciptakan untuk menunjukkan pada perseorangan tertentu. Seperti Muhammad. Atau menunjukkan satu jenis, seperti lelaki. Atau menunjukkan beberapa satuan terbatas, seperti tiga belas, seratus, sebuah kaum, sebuah masyarakat, sekumpulan orang, sekelompok orang dan lain sebagainya yang terdiri dari lafadz yang menunjukkan sejumlah individu dan tidak menunjukkan terhadap seluruh individu. Artinya tidak mencakup semua, namun hanya berlaku untuk sebagian tertentu.
Dari definisi yang dikemukakan tersebut mengidenfikasikan bahwa lafaz musyatarak dan lafaz am tidak masuk dalam defines ini karena lafdz musyatarak mengandung beberapa kemungkinan makna. Sedangkan lafaz am mengandung arti secara umum dan tidak tertentu dari lafaz itu. Adapun dari cara penunjukan lafaz atas suatu arti ini bisa dalam berbagai bentuk yaitu bentuk genius seperti lafaz insanun yang diperuntukan untuk hewan yang berfikir atau berbentuk spesies (nau) seperti kata laki-laki dan perempuan atau dalam bentuk personal yang berbeda-beda tetapi terbatas seperti bilangan angka (1, 3, 10. 80. 1000) dan seterusnya.
b. Hukum ‘Am dan Khas
1) Hukum Am’
Para Ulama sepakat bahwa lafazh ‘am yang disertai qarinah (indikasi) yang menunjukkan penolakan adanya takhsis adalah qat’i dilalah. Mereka pun sepakat bahwa lafazh ‘am yang disertai qarinah yang menunjukkan bahwa yang dimaksudnya itu khusus, mempunyai dilalah yang khusus pula. Yang menjadi perdebatan pendapat disini ialah lafazh ‘am yang mutlaq tanpa disertai suatu qarinah yang menolak kemungkinan adanya takhsis, atau tetap berlaku umum yang mencakup satuan-satuannya[6].
Menurut Hanafiyah dilalah ‘am itu qath’i, yang dimaksud qath’i menurut hanafiyah ialah :“Tidak mencakup suatu kandungan, yang menimbulkan suatu dalil.
Namun, bukan berarti tidak ada kemungkinan takhsis sama sekali. Oleh karena itu, untuk menetapkan ke-qath’i-an lafazh ‘am, pada mulanya tidak boleh di takhsis sebab apabila pada awalnya sudah dimasuki takhsis, maka dilalahnya zanni.
Mereka beralasan, ”sesungguhnya suatu lafazh apabila dipasangkan pada suatu makna itu berketetapan yang pasti, sampai ada dalil yang mengubahnya.
Berdasarkan penelitian terhadap nash telah diperoleh ketetapan bahwa lafaz yang umum (amm) ada tiga macam, yaitu:
a) Lafaz amm yang dimaksudkan keumumannya secara pasti, yaitu lafaz amm yang disertai oleh qarinah yang menghilangkan kemungkinan pentakhsisannya.
b) Lafaz yang umum yang dikehendaki kekhususannya secara pasti. Yakni lafaz umum yang disertai oleh qarinah yang menghilangkan keumumannya dan menjelaskan bahwa yang dimaksud dari lafaz itu adalah sebagainnya.
c) Lafaz amm (umum) yang ditakhisis, yaitu lafaz yang umum yang bersifat muthlaq, dan tidak ada qarinah yang menyertainya yang menyertainya yang meniadakan kemungkinan pengtakhsisannya, maupun qarinah yang menghilangan dalam umumnya.
2) Hukum Khas
Lafaz yang terdapat pada nash menunjukkan satu makna tertentu dengan pasti selama tidak ada dalil yang mengubah maknanya. Dengan semikian, apabila ada suatu kemungkinan arti lain yang tidak berdasar pada dalil, maka ke qathian dilalahnya tidak terpengaruhi.
Oleh karena itu, apabila lafaz khas dikemukakan dalam bentuk mutlaq, tanpa batasan apapun, maka lafaz itu memberi faedah hukum secara mutlak selama tidak ada dalil yang membatasinya. Dan bila lafaz itu dikemukakan dalam bentuk perintah, maka ia menunjukkan berupa tuntutan kewajiban bagi orang yang diperintahkan (ma’mur bih)selama tidak ada dalil yang memalingkannya dari makna yang lain yang dikandungnya. Demikian juga, jika lafaz itu dalam bentuk laragan (nahy), maka ia menunjukkan keharaman untuk dilakukan dari perbuatan itu selama tidak ada indikasi (qarinah) yang merubah makna itu.
Kata tsalasah mengandung pengertian khas yang tidak mungkin mengandung arti lebih atau kurang dari makna yang di kehendaki oleh lafaz itu sendiri yaitu tiga. Oleh karena itu, penunjukkan makna yang dikandungnya adalah sesuatu yang pasti (qath’i).
Terhadap adanya kemungkinan untuk ditakwil dalam lafaz khas, para pengikut mazhab Hanafi telah memalingkan arti lafaz khas tersebut dari maknanya yang haqiqi dalam beberapa nash karena adanya qarinah yang mengharuskan pemalingan artinya yang hakiki dan karena adanya maksud untuk memberi makna yang lain melalui maksud yang terkandung dalam dalil tersebut.
Hukum lafaz khas secara garis besar adalah bahwasannya apabila ada nash syar’i, maka ia menunjukkan dengan dalalah yang qath’i terhadap maknanya yang khusus yang ditetapkannya untuknya secara hakekat. Sedangkan hukum bagi madlulnya (yang ditunjukinya) tetap secara pasti, bukan dengan jalan zhann (dengan kuat)[7].
Hukum yang diambil hadis Nabi saw:
Artinya:
”Pada tiap-tiap empat puluh ekor kambing adalah seekor kambing”.
Adalah penentuan nishab kambing yang wajib dikeluarkan zakatnya yaitu: empat puluh ekor kambing. Penentuan yang wajib adalah seekor kambing, tidak mengandung kemungkinan lebih atau kurang, baik pada yang ini maupun yang itu.
Akan tetapi apabila ada dalil yang menuntut pentrakwilan lafaz yang khusus ini, maksudnya dibawakan kepada pengertian yang dituntut oleh dalil itu. Misalnya hal ini ialah penjelasan yang telah kami kemukakan dalam mentakwilkan ”kambing” dalam hadis terdahulu oleh ulama Hanafiyyah, dengan sesuatu yang meliputinya dan meliputi segala bentuk penggantian yang sebanding dengan sesuatu yang dirusakkan.
c. Kedudukan ’Am dan Khas
1) Kedudukan ’Am
Pada dasarnya pada pemahaman dalalah lafal al-‘am, ulama ushul telah sepakat bahwa keumuman lafal nash itu tetap saja dalam keumumannya jika tidak ada dalil yang dapat dijadikan sebagai dasar pengkhususannya. Akan tetapi, kalangan jumhur menegaskan sedapat mungkin keumuman lafal nash itu harus diupayakan mencari takhsisnya, baik dengan akal, adat maupun dengan nash itu sendiri.
Persoalannya sekaran adalah apakah lafal al-‘am itu qhat’i atau zhanny? Tentang hal ini kalangan ulama berbeda pendapat. Menurut ulama dari mazhab Hanafi, bahwa dalalah lafaz al-‘am itu adalah qhat’i bukan zhanny dan ia seperti dalalah lafaz al-kahs dari segi maknanya. Kalangan ulama hanafi seperti dijelaskan oleh Zaky al-Din Sya’ban, beralasan bahwa, sesungguhnya lafal al-‘am itu mengandung makna yang pasti, tegas sampai ada dalil yang menyalahinya. Atas dasar ini kalangan ulama Hanafi mengemukakan kaidah:
“ apa bila terdapat suatu lafal yang umum, maka maksud seluruh satuan –satuan yang erdapat didalamnya adalah qhat’i sampai ada dalil yang mengkhususkan dan membatasi sebagian dari satuan-satuan yang tercakup didalamnya”.
Kemudian dari kalangan jumhur ulama, seperti dari mazhab syafi’i menyatakan bahwa dalalah lafal al-‘am itu adalah zhanny buka qhat’i. oleh karena itu setiap lafal al-‘am haruslah di takhsis sebelum diamalkan.
Kalangan Syafi’iyah , malah menegaskan:
مَامِنْ عَامٍ إِلَّا وَقَدْ خُصَّ مِنْهُ الْبَعْضَ
“lafal al-‘am tidak dapat diamalkan, kecuali setelah dikhususkan sebagian dari satuan-satuannya”.
Dari pandangan syafi’iyah ini jelas bahwa bagaimanapun juga lafal al-‘am itu, sedapat mungkin harus di khususkan, karena keadaan zhanny.
Menurut jumhur ulama (Malikiyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah) bahwa dilalah ’am itu adalah dzanni. Dengan alasan, dilalah ’am itu termasuk bagian dari dilalah dzahir yang mempunyai kemungkinan untuk ditakhshish. Dan kemungkinan tersebut pada lafaz am banyak sekali bisa ditemukan. Selama kemungkinan tetap ada, maka tidak dapat dibenarkan untuk menyatakan bahwa dilalahnya adalah qathi.
Oleh karena itu, mereka mengemukakan sebuah statemen qaedah yang berbunyi:
مَامِنْ عَامٍ إِلَّا وَقَدْ خُصَّ مِنْهُ الْبَعْضَ
Terjemahnya
“ Tidak ada suatu lafaz am kecuali sudah dimunkinkan untuk di takhsis”.
Pakar Ushul Fiqih dari kalangan Hanafiyah membantah argument tersebut dengan alasan bahwa: “Kemungkinan tersebut tidak dapat dibenarkan, sebab timbulnya dari ucapan pembicaraan bukan yang muncul dari dalil itu sendiri”.
Konsekuensi dari pendapat ini ialah tidak sah mentakhshishkan lafaz yang umum pada pentakhsishan yang pertama kali dengan dalil zhanni. Sebab dalil zhanni tidak dapat mentakhshiskan dalil yang qath’i. selanjutnya sah mentakhshiskannya dengan dalil zhanni pada pentakhsishkan yang kedua dan ketiga. Karena setelah pentakhshishan yang pertama, lafaz yang umum itu menjadi zhanni pula. Konsekuensinya lagi, bahwa bisa saja terjadi pertentangan antara lafaz umum yang belum ditakhshish dengan lafaz yang khas (yang bersifat khusus) yang qath’i, sebab kedua-duanya adalah dalil qath’i.
Hujjah mereka terhadap pendapat mereka ialah: bahwasanya lafaz yang umum pada hakekatnya ditetapkan untuk menghabiskan seluruh satuan yang berkenaan dengan maknanya. Sedangkan lafaz ketika dimutlakkan, maka ia menunjukkan atas maknanya secara hakiki dengan pasti.Lafaz yang umum yang terlepas dari qarinah yang mengkhususkannya menunjukkan keumumannya secra pasti. Ia tidak boleh dipalingkan dari maknanya yang hakiki kecuali dalil. Oleh karena inilah, maka para sahabat, tabi’in, dan imam-imam mujtahid beristindal dengan keumuman lafaz-lafaz yang umum yang terdapat dalam nash secara mutlak dari takhshish. Nereka mengingkari pentakhshishannya tanpa dalil. Apabila lafaz yang umum ditakhshish dengan dalil, maka hal ini menunjukkan pemaligannya dari maknanya yang hakiki, yaitu keumumannya, dan menujjukan pada penggunaannya dalam pengertian yang majazi, yaitu makna khusu. Selanjutnya ia mengandung kemungkinan untuk ditakhshiskan pada kedua kalinya, diqiyaskan pada pentakhshishan yang pertama.
Sebab illat ( alasan) pada takhshish yang pertama mungkin saja terwujud pada satuan yang lainnya. Jadi, seakan-akan takhshish yang pertama membuka lubang pada keumumannya dan memberikan peluang bagi pembukaan lubang-lubang lainnya. Oleh karena inilah, maka lafaz yang umum ditakhshishkan menjadi zhanni dalalahnya terdapat sesuatau yang tersisa setelah takhshish.
2) Kedudukan Khas
Menurut jumhur ulama, arti kata empat puluh ekor kambing dan seekor kambing, keduanya adalah lafadh khas. Karena kedua lafadh tersebut tidak mungkin diartikan lebih atau kurang dari makna yang ditunjuk oleh lafadh itu sendiri.
Dengan demikian, dalalah lafadh tersebut adalah qath’iy. Tetapi menurut Ulama Hanafiyah, dalam hadits tersebut terdapat qarinah yang mengalihkan kepada arti yang lain. Yaitu bahwa fungsi zakat adalah untuk menolong fakir miskin. Pertolongan itu dapat dilakukan bukan hanya dengan memberikan seekor kambing, tetapi juga dapat dengan menyerahkan harga seekor kambing yang dizakatkan.
Pertanyaan yang muncul apakah dalalah al-khas mengandung petunjuk qhat’i, bukan zhanny, kecuali ada dalil yang memalingkan kepada arti lain. Seperti di jelaskan oleh Imam Muhammad Abu Zahra, bahwa dalalah lafal al-khas adalah qhat’i (jelas, tegas). Menurut Zahra hal ini tidak terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama. Demikian juga yang di jelaskan oleh Zaky al-Din Sya’ban bahwa lafal al-Khas menunjukan kecuali ada dalil lain yang mengubahnya.Apa yang dinyatakan Zaky al-Din Sya’ban ini dapat dipahami bahwa meskipun lafal al-Khas tersebut dalalahnya qhat’i, tetapi ada kemungkinan mengalami perubahan jika ada dalil lain yang dapat dijadikan alasan untuk itu. Yang menjadi permasalahan adalah apakah perubahan dalalah lafal al-khas yang qhat’i kepada arti lain dapat dibenarkan atau tidak?
Dalam hubungan ini ulama berbeda pendapat. Sebagian berpendapat bahwa arti qhat’i yang ditunjukan oleh dalalah lafal al-khas tidak dapat dirubah kepada arti lain, karena ia sudah pasti. Dalam hal ini, Zaky al-Din Sya’ban sendiri kelihatannya mendukung pendapat yang disebut terakhir ini.
Golongan syafiiyah memandang bahwa lafaz khas itu mempunyai kemungkinan adanya penjelasan atau perubahan, maka dari sisi ini mereka memandang lafaz khas itu sebagai lafaz mujmal. Oleh karena sebab itu, mereka menerima kemungkinan adanya penambahan atas lafaz khas yang terdapat dalam Alquran dengan hadis ahad yang merupakan penjelesannya. Maka menurut golongan ini, tuma’ninah yang diisyaratkan oleh hadis tersebut merupakan penjelasan terhadap ayat Alquran dan termasuk fardu dalam ruku’.
2. Amr dan Nahi
Para pakar Ushul Fiqih menyatakan bahwa hukum syar’I itu adalah khitab ( titah) Allah yang berhubungan dengan perbuatan muallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan dan ketentuan[11].
Khitab dalam bentuk tuntutan ada dua bentuk, yaitu tuntutan untuk mengerjakan dan tuntutan untuk meninggalkan. Setiap tuntutan mengandung taklif (beban hukum) atas pihak yang dituntut, dalam hal ini adalah manusia mukallaf. Tuntutan yang mengandung beban hukum untuk dikerjakan disebut perintah atau ‘amar’. Sedangkan tuntutan yang mengandung beban hukum untuk ditinggalkan disebut larangan atau ‘nahy’.
a. Pengertian Amr dan Hani
1) Pengertian Amr
Dalam setiap kata amar mengandung tiga unsur, yaitu: pertama, yang mengucapkan kata amar atau yang menyuruh. Kedua, yang dikenal kata amar atau yang disusun. Ketiga, ucapan yang digunakan dalam suruhan itu.[12]
Lafaz Amar secara bahasa الامر yang berarti perintah atau suruhan. Amar adalah kebalikan dari Nahi yaitu yang berarti larangan. Sedangkan secara istilah, para ulama banyak yang mendefinisikan Amar tersebut diantaranya:
امر هو يطلب به الآعلى ممن هوأدنى منه فعلا غير كفٍ
“Amar adalah suatu lafaz yang dipergunakan oleh orang yang lebih tinggi derajatnya kepada orang yang lebih rendah untuk meminta bawahannya mengerjakan suatu pekerjaan yang tidak boleh ditolak”.[13]
Berdasarkan beberapa definisi amar tersebut dapat kita simpulkan adalah lafaz amar yaitu suatu lafaz yang dipergunakan oleh orang yang lebih tinggi derajatnya kepada orang yang lebih rendah untuk meminta bawahannya mengerjakan suatu pekerjaan yang harus dikerjakannya.
Menurut mayoritas ulama ushul fiqih, amar adalah : suatu tuntutan (perintah) untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya. Perintah untuk melakukan suatu perbuatan, seperti dikemukakan oleh Khudari Bik dalam bukunya Tarikh al-Tasyri, disampaikan dalam berbagai redaksi antara lain:
a) Perintah tegas dengan menggunakan kata amara (امر) dan yang seakar dengannya. misalnya dalam ayat:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Terjemahnya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah larang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi ganjaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”. (QS. An-Nahl/16:90)
b) Perintah dalam bentuk pemberitaan bahwa perbuatan itu diwajibkan atas seseoarang dalam dengan memakai kata kutiba (كتب/diwajibkan). Misalnya, dalam surat al-Baqarah ayat 178:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأنْثَى بِالأنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ
مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ
فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Terjemahnya:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih”. (QS. al-Baqarah/2:178)
c) Perintah dengan memakai redaksi pemberitaan (jumlah khabariyah), namun yang dimaksud adalah perintah. Misalnya, ayat 228 surat al-Baqarah:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ وَلا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاحًا وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Terjemahnya:
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. al-Baqarah/2:228)
d) Perintah dengan memakai kata kerja perintah secara langsung. Misalnya, ayat 238 surat al-Baqarah:
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ
Terjemahnya:
Peliharalah segala salat (mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah karena Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk. (QS. al-Baqarah/2:238).
e) Perintah dalam bentuk menjanjikan kebaikan yang banyak atas pelakunya. Misalnya, ayat 245 surat al-Baqarah:
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Terjemahnya:
Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan. (QS. al-Baqarah/2:245)
2) Pengertian Nahi
Nahi adalah suatu lafaz yang mengandung makna tuntutan meninggalkan sesuatu perbuatan. Nahi yaitu larangan, meninggalkan suatu perbuatan yang dilarang untuk melakukannya. Mayoritas ulama ushul fiqih mendefinisikan nahi sebagai:
Larangan melakukan suatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya dengan kalimat yang menunjukkan atas hal itu.[14]
Dalam melarang suatu perbuatan, seperti disebutkan oleh Muhammad Khudri Bik. Allah juga memakai berbagai ragam bahasa. Diantaranya adalah:
1) Larangan secara tegas dengan memakai kata naha(نهي) atau yang seakar dengannya yang secara bahasa berarti melarang. Misalnya surat an-Nahl ayat 90:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Terjemahnya:
"Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran” .(QS an-Nahl/16:90).
Nabi Saw bersabda yang artinya:
“Dari Abi Sa’id Al-Khudri r.a. ia berkata:”Saya telah mendengar Rasulullah SAW. Bersabda “barang siapa diantara kalian melihat kemungkaran hendaklah dia merubahnya dengan tangannya, jika dia tidak mampu, maka dengan lidahnya, dan jika tidak sanggup, maka dengan hatinya. Namun, yang demikian (merubah kemungkaran dengan hati) yaitu adalah selemah-lemahnya iman.”(H.R. Muslim).
2) Larangan dengan menjelaskan bahwa sesuatu perbuatan itu diharamkan(حرم). Misalnya, ayat 33 surat al-A’raf:
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ
مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ
Terjemahnya:
Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak atau pun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui".(QS. al-A’raf/7:33).
b. Hukum Amr dan Nahi
1) Hukum Amr
Suatu bentuk perintah, seperti dikemukakan oleh Muhammad Adib Saleh, Guru Besar Ushul Fiqih Universitas Damaskus, bida digunakan untuk berbagai pengertian, yaitu antara lain :
a) Mennjukkan hukum wajib seperti perintah untuk salat.
b) Untuk menjelaskan bahwa sesuatu itu boleh dilakukan, seperti ayat 51 Surah Al-Mukminun:
يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
Terjemahnya:
”Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Mukminun/23: 51)
c) Sebagai anjuran, seperti dalam ayat 282 surah al-Baqarah:
Terjemahnya:
” Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”. (QS. Al-Baqarah/2: 282)
d) Untuk melemahkan, misalnya ayat 23 Surah al-Baqarah:
وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْصَادِقِينَ
Terjemahnya:
”Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Alquran yang kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Alquran itu dan ajaklah penolong-penolonmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar”. (QS. Al-Baqarah/2: 23)
e) Sebagai ejekan dan penghinaan, misalnya firman Allah berkenaan dengan orang yang ditimpa siksa di akhirat nanti sebagai ejekan atas diri mereka dalam surah al-Dukhan ayat 49:
Terjemahnya:
”Rasakanlah, sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia”. (QS. Al-Dukhan/44: 49)
2) Hukum Nahi
Seperti dikemukakan Adib Saleh, bahwa bentuk larangan dalam penggunaannya menunjukkan berbagai pengertian, antara lain:
a) Menunjukkan hukum haram, misalnya surat al-Baqarah ayat 221
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik,”
b) Sebagai anjuran untuk meninggalkan, seperti al-Maidah :101
Terjemahnya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”
c) Penghinaan, dalam surat at-Tahrim ayat 7
Terjemahnya:
“Hai orang-orang kafir, janganlah kamu mengemukakan uzur pada hari ini. Sesungguhnya kamu Hanya diberi balasan menurut apa yang kamu kerjakan”.
Seperti dikemukakan Adib Saleh, bahwa bentuk larangan dalam penggunaannya mungkin menunjukkan berbagai pengertian, antara lain:
1) Untuk menunjukkan hukum haram misalnya ayat 221 surat al-Baqarah:
وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ
حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ
وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Terjemahnya:
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”. (QS. al-Baqarah/2:221)
2) Sebagai anjuran untuk meninggalkan, misalnya ayat 101 surat al-Maidah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ وَإِنْ تَسْأَلُوا عَنْهَا حِينَ يُنَزَّلُ الْقُرْ
آنُ تُبْدَ لَكُمْ عَفَا اللَّهُ عَنْهَا وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ
Terjemahnya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Qur'an itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu. Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun”.(QS. al-Maidah/5:101)
3) Penghinaan, contohnya ayat 7 surat al-Tahrin.
4) Untuk menyatakan permohonan, misalnya ayat 286 surat al-Baqarah.
c. Kedudukan Amr dan Nahi
1) Kedudukan Amr
Apabila dalam nash (teks) syara’ terdapat salah satu dari bentuk perintah tersebut, maka seperti dikemukakan Muhammad Adib Saleh, ada beberapa kaidah yang mungkin bisa diberlakukan.
Kaidah pertama meskipun dalam suatu perintah bisa menunjukan bebagai pengertian, namun pada dasarnya suatuperintah menunjukan hukum wajib dilaksanakan kecuali ada indikasi atau dalil yang memalingkannya dari hukum tersebut. Kesimpulan ini, di samping didasarkan atas kesepakatan ahli bahasa, juga atas ayat 62 surat an-Nur yang mengancam dan menyiksa orang-orang yang menyalahi perintah Allah. Adanya ancaman siksaan itu menunjukan bahwa suatu perintah wajib dilaksanakan.
Contoh perintah yang terbebas dari indikasi yang memalingkan dari hukum wajib adalah ayat 77 surat an-Nisa:
... Dan dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat...(QS.an-Nisa/3:77)
Ayat tersebut menunjukkan hukum wajib mendirikan solat lima waktu dan menunaikan zakat.
Kaidah kedua adalah suatu perintah haruskah dilakukan berulang kali atau cukup dilakukan sekali saja?, menrt para ulama Ushul Fiqih, pada dasarnya suatu perintah tidak menunjukkan berulang-kali dilakukan kecuali ada dalil untuk itu. Karena suatu perintah hanya menunjukkan perlu terwujudnya perbuatan yang diperintahkan itu dan hal itu sudah bisa tercapai meski pun hanya dilakukan satu kali. Contohnya ayat 196 surat al-Baqarah:
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّه...
Terjemahnya:
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan `umrah karena Allah. (QS. al-Baqarah”/2:196)
Menurut sebagian ulama, antara lain Abu al-Hasan al-Karkhi. Seperti di nukil Muhammad Adib Shalih, bahwa suatu perintah menunjukkan hukum wajib segera dilakukan. Menurut pendapat ini barang siapa yang tidak segera melakukan di awal waktunya maka ia berdosa.
2) Kedudukan Nahi
Para ulama Ushul Fiqh merumuskan beberapa kaidah yang berkenaan dengan larangan, antara lain:
Kaidah pertama, الأصل فى النهى للتحريم, pada dasarnya suatu larangan menunjukkan hukum haram melakukan perbuatan yang dilarang kecuali ada indikasi yang menunjukkan hukum lain. Contohnya ayat 151 surat al-An’am.
“dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar”
Contoh larangan yang disertai indikasi yang menunjukkan hukum selain haram, dalam surat al-Jum’ah : 9
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli[1475]. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui.”
Kaidah kedua,الأصل فى النهى يطلق الفساد مطلقا, suatu larangan menunjukkan fasad (rusak) perbuatan yang dilarang itu jika dikerjakan. Kaidah ini disepakati bilamana larangan itu tertuju kepada zat atau esensi suatu perbuatan, bukan terhadap hal-hal yang terletak diluar esensi perbuatan itu.
Kaidah ketiga,النهي عن الشيئ أمر بضده, suatu larangan terhadap suatu perbuatan berarti perintah terhadap kebalikannya. Seperti dalam surat Luqman : 18
“dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh”
Larangan tersebut mengajarkan agar berjalan di permukaan bumi dengan rendah hati dan sopan.
1 Pengertian Kaidah Fiqhiyah
Kata Qai’dah fiqhiyah terdiri dari dua kata yakni qa’idah dan fiqhiyyah. Qa’idah kata mufrad yang jama’nya qawa’id menurut bahasa berarti dasar atau asas. Dan kata fiqhiyyah berasal dari kata fiqh, yang berarti faham, yang menurut istilah berarti kumpulan hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan mukalaf, yang dikeluarkan dari dalil-dalil yang terperinci.
Pengertian Qa’idah fiqhiyyah menurut Dr. Musthafa Ahmad az-Zarqa ialah:
اُصُوْلٌ فِقْهِيَّةٌ كُلِّيَّةٌ فىِ نُصُوْصٍ مُوْجِزَةٍ دُسْتُوْرِيَّةٍ تَضْمَنُ أَحْكَامًا تَشْرِيْعِيَّةً عَامَّةً فِى الْحَوَادِثِ الَّتِى تَذْخُلُ تَحْتَ مَوْضُوْعِهَا
“Dasar-dasar yang bertalian dengan hukum syara’ yang bersifat mencangkup (sebagian besar bagian-bagiannya) dalam bentuk teks-teks perundang-undangan yang ringkas (singkat padat) yang mengandung penetapan hukum-hukum yang umum pada pristiwa-pristiwa yang dapat dimasukkan pada permasalahannya.”
Menurut Prof. Hasbi Ash-Shiddieqy, qa’idah fiqhiyyah itu ialah:
“qa’idah-qa’idah yang bersifat kully dan dari maksud-maksud syara’ menetapkan hukum (maqashidusy syar’i) pada mukalaf serta dari memahami rahasia tasyri’ dan hikmah-hikmahnya.”
2.2 Macam-macam Kaidah Fiqhiyah
Kaidah fiqhiyyah dibagi menjadi 3 macam yaitu:
• Lima kaidah dasar yang mempunyai skala cakupan menyeluruh, lima kaidah ini memiliki ruang lingkup Furi’iyyah yang sangat luas, komprehensif, dan universal, sehingga hampir menyentuh semua elemen hukum fiqih.
• Kaidah-kaidah yang mempunyai cangkupan furu’ cukup banyak, tetapi tak seluas yang pertama, kaidah ini biasa disebut sebagai al-qawa’id al-aghlabiyah.
• Kaidah yang mempunyai cangkupan terbatas (al-qawa’id al-qaliliyah) bahkan cenderung sangat sedikit.
2.3 Perbedaan Kaidah Fiqhiyah dan Kaidah Ushuliyah
Perbedaan antara keduanya adalah sebagi berikut:
o Kaidah ushul pada hakikatnya adalah qa’idah istidlaliyah yang menjadi wasilah para mujtahid dalam istinbath (pengambilan) sebuah hukum syar’iyah amaliah. Kaidah ini menjadi alat yang membantu para mujtahid dalam menentukan suatu hukum. Dengan kata lain, kita bisa memahami, bahwa kaidah ushul bukanlah suatu hukum, ia hanyalah sebuah alat atau wasilah kepada kesimpulan suatu hukum syar’i. Sedangkan, kaidah fiqih adalah suatu susunan lafadz yang mengandung makna hukum syar’iyyah aghlabiyyah yang mencakup di bawahnya banyak furu’. Sehingga kita bisa memahami bahwa kaidah fiqih adalah hukum syar’i. Dan kaidah ini digunakan sebagai istihdhar (menghadirkan) hukum bukan istinbath (mengambil) hukum (layaknya kaidah ushul). Misalnya, kaidah ushul “al-aslu fil amri lil wujub” bahwa asal dalam perintah menunjukan wajib. Kaidah ini tidaklah mengandung suatu hukum syar’i. Tetapi dari kaidah ini kita bisa mengambil hukum, bahwa setiap dalil (baik Qur’an maupun Hadits) yang bermakna perintah menunjukan wajib. Berbeda dengan kaidah fiqih “al-dharar yuzal” bahwa kemudharatan mesti dihilangkan. Dalam kaidah ini mengandung hukum syar’i, bahwa kemudharatan wajib dihilangkan.
o Kaidah ushul dalam teksnya tidak mengandung asrarus syar’i (rahasia-rahasia syar’i) tidak pula mengandung hikmah syar’i. Sedangkan kaidah fiqih dari teksnya terkandung kedua hal tersebut.
o Kaidah ushul kaidah yang menyeluruh (kaidah kulliyah) dan mencakup seluruh furu’ di bawahnya. Sehingga istitsna’iyyah (pengecualian) hanya ada sedikit sekali atau bahkan tidak ada sama sekali. Berbeda dengan kaidah fiqih yang banyak terdapat istitsna’iyyah, karena itu kaidahnya kaidah aghlabiyyah (kaidah umum).
o Perbedaan antara kaidah ushul dan kaidah fiqih pun bisa dilihat dari maudhu’nya (objek). Jika Kaidah ushul maudhu’nya dalil-dalil sam’iyyah. Sedangkan kaidah fiqih maudhu’nya perbuatan mukallaf, baik itu pekerjaan atau perkataan. Seperti sholat, zakat dan lain-lain.
o Kaidah-kaidah ushul jauh lebih sedikit dari kaidah-kaidah fiqh.
o Kaidah-kaidah ushul lebih kuat dari kaidah-kaidah fiqh. Seluruh ulama sepakat bahwa kaidah-kaidah ushul adalah hujjah dan mayoritas dibangun diatas dalil yang qot’i. Adapun kaidah-kaidah fiqh ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan bahwa kaidah-kaidah fiqh bukan hujjah secara mutlaq, sebagian mengatakan hujjah bagi mujtahid ‘alim dan bukan hujjah bagi selainnya, sebagian yang lain mengatakan bahwa kaidah-kaidah tersebut hujjah secara mutlak.
o Kaidah-kaidah ushul lebih umum dari kaidah-kaidah fiqh.
o Kaidah Ushuliyah diperoleh secara deduktif, sedangkan fiqhiyah secara induktif. Kaidah ushuliyah merupakan mediator untuk meng-istinbath-kan hukum syara’ amaliyah, sedangkan kaidah fiqhiyah adalah kumpulan hukum-hukum yang serupa diikat oleh kesamaan ‘illat atau kaidah fiqhiyah yang mencakupnya dan tujuannya taqribu al-masa’il –alfiqhiyawa tashiliha.
Definisi Qawa’id Fiqhiyyah
Qawa’id adalah jama’ dari kata qa’idah yang menurut bahasa berarti al-Asas artinya dasar, maksudnya dasar atau fondasi dari berdirinya sesuatu atau pokok suatu perkara. Maka Qawa’id Fiqhiyyah merupakan hasil atau kesimpulan dari hukum-hukum fiqh yang terperinci (juz’iyyah) dan terpisah-pisah sebagai hasil akhir dari ijtihad mereka, lalu bagian-bagian yang terpisah-pisah tersebut diikat menjadi satu ikatan atau kaidah, sehingga hubungan antara qawa’ih fiqhiyyah dengan fiqh dalam hukum islam, dapat disejajarkan antara shorof dengan aplikatif dari suatu percakapan dalam susunan bahasa arab.[1]
T.M.Hasbi ash-shiddiieqy memberikan pengertian kaidah kulliyah fiqhiyyah dengan “Kaidah-kaidah kulliyah itu tiada lain daripada prinsip-prinsip umum yang melengkapi kebanyakan juz’iyyah-nya”.”Kaidah fiqhiyyah itu mencakup rahasia-rahasia syara’ dan hikmah-hikmahnya yang dengannya seluruh furu’ dapat diikat, dan dapat diketahui hukum-hukumnya serta dapat diselami maksudnya. Jadi, kaidah-kaidah fiqh itu mengklasifikasikan masalah-masalah furu’ (fiqh) menjadi beberapa kelompok dan tiap-tiap kelompok itu merupakan kumpulan-kumpulan dari masalah-masalah yang serupa.[2]
Pengertian kaidah semacam ini terdapat pula dalam ilmu-ilmu yang lain seperti dalam ilmu nahwu/grammer bahasa arab seperti maf’ul itu manshub dan fa’il itu marfu’. Dari sini ada unsur penting dalam kaidah yaitu hal yang bersifat kulli (menyeluruh,general) yang mencakup seluruh bagian-bagiannya. Dengan demikian maka al-Qawaidh al-Fiqhiyyah (kaidah-kaidah fikih) secara etimologis adalah dasar-dasar atau asas-asas yang bertalian dengan masalah-masalah atau jenis-jenis fikih. Para ulama’ memang berbeda dalam mendefinisikan kaidah fiqih secara istilah. Ada yang meluaskannya dan ada yang mempersempitnya. Akan tetapi substansinya tetap sama sebagai contoh, Muhammad Abu Zahrah mendefinisikan kaidah dengan[3]:
مجموعة الأحكام المتشبهات التي ترجع إلى قياس واحد يجمعها
“Kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada qiyas/analogi yang mengumpulkannya.”
Sedangkan AL-Jurjani mendefinisikan kaidah fikih dengan:
قضية كلية منطبقة علي جميع جزءياتها
"Ketetapan yang kulli (menyeluruh,general) yang mencakup seluruh bagian-bagiannya “
Imam Tajjudin al-subki (w.771H) mendefinisikan kaidah dengan:
الأمرالكلي الذي ينطبق عليه جزءيات كثيرة يفهم أحكامها منها
"Kaidah adalah sesuatu yang bersifat general yang meliputi bagian yang banyak sekali, yang bisa dipahami hukum bagiantersebut dengan kaidah tadi”
Bahkan Ibnu Abidin (w.1252 H) dalam muqaddimah-nya dan Ibnu Nuzaim (w.970 H) dalam kitab al-asybah wa al-nadzair dengan singkat mengatakan bahwa kaidah itu adalah:
معرفة القواعد التي ترد إليها و فرعوا الأحكام عليها
“Sesuatu yang dikembalikan kepadanya hukum dan dirinci dari padanya hukum”
Sedangkan menurut Imam al-Suyuti di dalam kitabnya al-asybah wa al-nazhair, mendefinisikan kaidah dengan,
حكم كلي ينطبق على جزءياته
“Hukum kulli (menyeluruh,general) yang meliputi bagian-bagiannya.”
Dari definisi-definisi tersebut diatas, jelas bahwa kaidah itu bersifat menyeluruh yang meliputi bagian-bagianya dalam arti bisa diterapkan kepada juz’iyat-nya (bagian-bagiannya).
Objek dalam bahasan kaidah-kaidah fiqih itu adalah perbuatan mukallaf sendiri dan materi fikih itu sendiri yang dikeluarkan dari kaidah-kaidah fiqih yang sudah mapan yang tidak ditemukan nash-nya secara khusus didalam Al-Qur’an atau Sunnah atau Ijma’ (konsesus para ulama’).
Keutamaan orang yang ingin tafaqqah (mengetahui, meneladani menguasai) ilmu fiqih akan mencapainya dengan mengetahui kaidah-kaidah fikih, oleh karena itu ulama berkata:
من راعى الأصول كان حقيقا بالوصول ومن راعى القواعد كان خليقا بإدراك المقاصد
"Barangsiapa mengetahui ushul fiqih tentu dian akan sampai kepada maksudnya, dan barangsiapa yang mnguasai kaidah-kaidah fikih pasti dialah yang pantas mencapai maksudnya.”
Kaidah fikih adalah bagian dari ilmu fikih. Ia memiliki hubungan erat dengan Al-Qur’an, Al-Hdits, Akidah dan Akhlaq. Sebab, kaidah-kaidah yang sudah mapan, sudah dikritisi oleh ulama’ dan diuji serta diukur dengan banyak ayat dan hadits nabi, terutama tentang kesesuainnya dan substansinya.apabila kaidah fikih tadi bertentangan dengan banyak ayat Al-Qur’an atau Al-Hadits yang bersifat dalil kulli (general) maka dia tidak akan menjadi kaidah yang mapan pada hakikatnya merujuk kepada Al-Qur’an dan Hadits, setidaknya kepada semangat dan kearifan Al-Qur’an dan Hadits juga.
Hukum mempelajari kaidah-kaidah fikih adalah fardhu kifayah, seperti hukum dari ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi masyarakat. Meskipun sebagian ulama’ mewajibkan mempelajari dan menguasai kaidah-kaidah fikih bagi para pemegang keputusan dan terutama bagi para hakim pengadilan.
Pada hakikatnya sandaran kaidah fikih seperti telah dijelaskan dimuka adalah Al-Qur’an, As-Sunnah dan sering pula dari kata-kata hikmah dan kearifan para sahabat nabi serta para ulama’-ulama’ mujtahid, yang sangat dalam ilmu fikihnya.
Tujuan dibentuknya qawaidh fiqhiyyah adalah sebagai berikut[4]:
a. Untuk memelihara dan menghimpun berbagai masalah yang sama, juga sebagai barometer dalam mengidentifikasi berbagai hukum yang masuk dalam ruang lingkupnya.
b. Untuk menunjukan bahwa hukum-hukum yang sama illatnya meskipun berbeda-beda merupakan satu jenis ‘illat dan maslahat.
c. Untuk mempermudah fuqaha dalam menetapkan hukum perbuatan seorang mukallaf. Misalnya bagaimana hukum sesorang yang dipaksa meminum khamar, boleh atau tidak? Melalui pendekatan kaidah الضرر يزال kasus ini dapat dijawab, yaitu boleh meminum khamar karena terpaksa (madarat).
Qawa’id fiqhiyyah mempunyai beberapa kegunaan (urgensi) sebagai berikut:
a. Dengan mendalami qawa’id fiqhiyyah ,sesorang betul-betul dapat mendalami ilmu fiqih dan mampu menganalisa berbagai masalah
b. Qawa’id fiqhiyyah akan membantu menghafal dan menetapkan hukum berbagai masalah yang berdekatan. Disamping itu melalui qawa’id fiqhiyyah orang yang menetapkan hukum tidak merasa lelah dan tidak memerlukan waktu yang panjang.
c. Qawa;id fiqhiyyah berguna untuk menyelesaikan berbagai masalah kehidupan yang semakin kompleks. Apalagi pada masa sekarang menghafal dan memahami qawa’id fiqhiyyah bagi para penggali hukum fiqh sangat penting.
Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah
Menurut Ali Ahmad al-Nadawi, perkembangan qawa’id fiqhiyyah dapat dibagi kedalam tiga fase berikut[5]:
1) Fase pertumbuhan dan pembentukan
Masa kerasulan dan masa tasyri’(pembentukan hukum islam) merupakan embrio kelahiran qawa’id fiqhiyyah .Nabi Muhammad SAW menyampaikan hadits-hadits yang jawami’ ammah (singkat dan padat). Hadits-hadits tersebut dapat menampung masalah-maslah fiqh yang sangat banyak jumlahnya. Dengan demikian hadits nabi muhammad saw disamping sebagai sumber hukum juga sebagai qawa’id fiqhiyyah. Beberapa hadits nabi muhammad saw yang jami’ al kalim mendukung statement ini diantaranya sebagai berikut:
a. الخراج بالضان (hak menerima hasil karena harus menanggung kerugian)
b. الجماء جرحها جبار (kerusakan yang dibuat oleh kehendak binatang sendiri tidak dikenakan ganti rugi)
Peletakan batu pertama pembentukan qawa’id fiqhiyyah telah dimulai sejak tiga kurun waktu pertama (ke-1,2 dan3 H),meskipun dalam bentuk sederhana. Ini karena pada saat itu qawa’id fiqhiyyah belum begitu dibentuk menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri. Kaidah yang dibentuk ke-1,2 dan3 H mempunyai pengaruh kuat terhadap kitab-kitab fikih sesudahnya. Kaidah tersebut kadang-kadang dijadikan sebagai penjelasan (syarah) hadits Nabi Muhammad SAW.
2) Fase perkembangan dan pengkodifikasian
Qawa’id fiqhiyyah menjadi satu disiplin ilmu tersendiri pada IV H,dan dimatangkan pada abad-abad sesudahnya. Ketika ruh taklid menyelimuti abad ini (IV H dan sesudahnya), ijtihad menjadi berhenti dan para ulama kurang kreatif. Hal ini ditambah dengan adanya kekayaan fiqih yang melimpah berupa pengkodifikasian hukum fiqih dan dalil-dalilnya, juga banyaknya madzhab dan hanya mentarjih yang rajih- sekarang disebut dengan istilah perbandingan madzhab. Kondisi ini mendorong para ulama’ untuk membahas hukum suatu peristiwa baru hanya dengan berpegang pada fiqh madzhab saja.
Ketika hukum furu’ dan fatwa para ulama’ semakin berkembang dengan seiring dengan banyaknya persoalan, para ulama’ mempunyai inisiatif untuk membuat kaidah dan dhabit yang dapat memelihara hukum furu’ dan fatwa para ulama’ tersebut dari kesemerawutan. Hal inilah yang dilakukan oleh Abu Hasan al-Khakhi (w.340H) dalam risalahnya (ushul al-Karkhi) dan Abu Zaid al-Dabbusi (w.430H) dalam kitabnya Ta’sis al-Nadhar dengan memakai istilah ushul. Apabila ushul tersebut mencakup berbagai masalah fiqh maka disebut kaidah, sedangkan kalau hanya mencakup satu masalah fiqh disebut dhabit.
Pada abad VII H, ilmu qawa’id fiqhiyyah berkembang pesat meskipun belum mencapai puncaknya. Hal ini ditandai dengan munculnya sejumlah tokoh ulama dalam hal ini seperti Muhammad bin Ibrahim al-Jajarmi al-Sahlaki (w.613H) yang menyusun kitab al-Qawa’id fi Furu’ al-Syafi’iyyah. Pada masa VII ilmu qawa’id fiqhiyyah mengalami masa keemasan ditandai dengan banyak bermunculannya kitab-kitab qawa’id fiqhiyyah. Dengan demikian ilmu qawa’id fiqhiyyah berkembang secara berangsur-angsur. Pada abad VIII H perkembangan ilmu qawa’id fiqhiyyah terbatas hanya pada penyempurnaan hasil karya para ulama’ sebelumna khususnya dikalangan ulama’ syafi’iyah.
Pada abad XI dan XII H, ilmu qawa’id fiqhiyyah terus berkembang. Dengan demikian, fase kedua dari ilu qawa’id fiqhiyyah adalah fase perkembangan dan pembukuan (pengkodifikasian). Fase ini ditandai dengan munculnya al-Karkhi (w.340H) dan al-Dabbusi (w.430H).Para ulama yang hidup dalam rentangan waktu ini (abad IV-XII) hampir dapat menyempurnakan ilmu qawa’id fiqhiyyah.
3) Fase Pemantapan dan Fase Pensistematisan
Pengkodifikasian qawa’id fiqhiyyah mencapai puncaknya ketika disusun Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah oleh komite (lajnah) fuqaha pada masa Sultan al-Ghazi Abdul Aziz Khan al-Ustmani (1861-1876 M) pada akhir abad XIII H (1292 H). Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah ini menjadi rujukan (referensi) lembaga-lembaga peradilan masa itu.
Para fuqaha memasukkan qawa’id fiqhiyyah pada majalah ini setelah terlebih dahulu mempelajari sumber-sumber fiqh dan beberapa karya tulis tentang qawa’id fiqhiyyah seperti al-asybah wa al-Nadhair karya Ibnu Nujaim (w.970H) dan Majami al-Haqaiq karya al-Khadimi (w.1176H). mereka sangat selektif dalam meilih dan memilah kaidah yang akan dimasukkan ke dalam majalah. Mereka menyusun majalah ini dengan menggunakan redaksi yang singkat padat seperti undang-undang (qanun). Eksistensi majalah dapat mengangkat kedudukan dan popularitas kaidah. Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah memberikan banyak kontribusi bagi perkembangan fiqh dan perundang-undangan.
QAWA’ID KHAMSAH
PENGERTIAN QAWA’ID KHAMSAH DAN PERCABANGANNYA
Kaidah-kaidah yang dibentuk para ulama’ pada dasarnya berpangkal dan menginduk kepada lima kaidah pokok. Kelima kaidah pokok inilah yang melahirkan bermacam-macam kaidah yang bersifat cabang. Sebagian ulama’ menyebut kelima kaidah pokok tersebut dengan istilah al qawa’id al-khams (kaidah-kaidah yang lima).
Kelima kaidah tersebut sangat masyhur di kalang madzhab al-Syafi’i khususnya dan dikalangan madzhab-madzhab lain umumnya, meskipun urutannya tidak selalu sama.
Kelima kaidah tersebuat adalah:
1. KAIDAH PERTAMA
A. Teks Kaidah
Segala Sesuatu Itu Tergantung Pada Tujuannya
الأُمُوْرُبِمِقَا صِدِهَا
Maksudnya adalah niat yang terkandung dalam hati seseorang saat melakukan amaliyah, menjadi kriteria yang dapat menentukan nilai dan status hukum amal-amaliyah yang telah dilakukan, baik yang berhubungan dengan peribadahan maupun adat-kebiasaan.
Dengan demikian, setiap amaliyah pasti didasarkan pada niat, jika tidak, maka amaliyah tersebut bersifat spekulatif. Oleh karena itu, niat memiliki posisi yang sangat penting, sebab ia sebagai penentu segala gerak tingkah dan amaliyah yang dilakukan menjadi bernilai baik atau tidak.
B. Landasan Hukum
• Firman Allah SWT dalam Surah Al-Bayyinah(98) ayat 5
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
Artinya: “ (Padahal) mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus…” (QS. al-Bayyinah [98]: 5).
• Sabda Nabi SAW:
إِنَّمَا الْاَ عْمَا لُ بِا لنِّبَا تِ (اخرجه البخاري و مسلم )
Artinya: “Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya.” (HR.Bukhori dan Muslim)
C. Tujuan disyari’atkannya niat
Menurut al-Suyuti (w.911 H), yang paling penting dari disyari’atkannya niat adalah untuk membedakan antara ibadah dengan adat-kebiasaan. Selain itu, juga untuk mengurutkan tingkatan-tingkatan ibadah, seperti wudhu dan gusl (mandi) dapat diartikan sebagai membersihkan diri (tandhif), mencari kesegaran (tabarrud), dan ibadah. Begitu juga, seperti menahan diri (imsak) dari segala hal yang membatalkan puasa, dapat diartikan sebagai hamiyyah (kesehatan badan), berobat, dan karena tidak ada yang memerlukannya.Demikian juga, kata al-Suyuti (w.911 H), duduk di Masjid dapat diartikan sebagai istirahat, memberikan uang kepada orang lain dapat berarti sebagai hibah, menyambungkan tali silaturahmi, atau karena maksud-maksud duniawi, dan dapat juga berarti mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub) seperti zakat, sadaqah, dan kifarat. Menyembelih hewan dapat bertujuan untuk makan, dan juga dapat bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub) karena telah mengalirkan darah (membunuh). Dalam hal ini, niat disyari’atkan untuk membedakan antara yang taqarrub dengan yang bukan.
Setiap ibadah, seperti wudhu, gusl (mandi), shalat, dan saum (puasa) kadang-kadang sebagai perbuatan fardhu, nazar, dan nafl (sunnah). Tayammum, kadang-kadang dari hadats atau janabah, padahal cara pelaksanaannya sama. Karena inilah, niat disyari’atkan untuk membedakan tingkatan-tingkatan ibadah.
Contoh penerapannya, ketika wanita dalam keadaan haid, ketika membaca bismillah dengan:
• Diniati membaca Alqur’an, maka hukumnya haram
• Diniati berdzikir, maka tidak haram
• Diniati baca Alqur’an dan dzikir, maka hukumnya haram
• Tidak diniati apa-apa, maka juga haram.
2. KAIDAH KEDUA
A. Teks Kaidah
Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan.
اَلْيَقِيْنُ لاَيُزَالُ بِا لشَكِ
Maksudnya ialah semua hukum yang sudah berlandaskan pada suatu keyakinan itu, tidak dapat dipengaruhi oleh adanya keragu-raguan yang muncul kemudian, sebab rasa ragu yang merupakan unsur eksternal dan muncul setelah keyakinan, tidak akan bisa menghilangkan hukum yakin yang telah ada sebelumnya.
Dengan demikian, maka yang dimaksud dengan kaidah kedua adalah tercapainya suatu kemantapan hati pada suatu obyek yang telah dikerjakan, baik kemantapan itu sudah mencapai pada kadar ukuran pengetahuan yang mantap atau baru sekadar dugaan kuat (asumtif/dzan). Makanya tidak dianggap suatu kemantapan hati yang disertai dengan keragu-raguan pada saat pekerjaan itu dilaksanakan, sebab keadaan ini tidak bisa dimasukkan kedalam kategori yakin. Hal-hal yang masih dalam keraguan atau masih menjadi tanda tanya, tidak dapat disejajarkan dengan suatu yang sudah diyakini.
B. Landasan Hukum
• Firman Allah SWT dalam Surat Yunus ayat 36
وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلَّا ظَنًّا ۚ إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
Artinya: ”Dan kebanyakan dari mereka tidak mau mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai suatu kebenaran” (QS. Yunus : 36).
• Sabda Nabi SAW:
اِذَاوَجَدَ أَحَدُ كُمْ فِي بَصْنِهِ شَيْئًا فَآَ شْكَلَ عَلَيْهِ اَخَرَجَ مِنْهُ شَيْ ءٌأَمْ لاَفَلاَ يَخْرُجَنَ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَى يَسْمَعَ صَوْتًاأَوْيَجِدْرِيْحًا (رواه مسلم عن أبى هريرة)
Artinya: “Apabila seseorang diantara kalian merasakan sesuatu dalam perutnya. Kemudian dia ragu apakah sesuatu itu telah keluar dari perutnya atau belum. Maka orang tersebut tidak boleh keluar dari mesjid sampai dia mendengar suara (kentut) atau mencium baunya”. (HR. Muslim dari Abu Hurairah).
C. Beberapa Kaidah Minor dan Contoh Penerapannya
Beberapa kaidah minor, diantaranya:
1. Kaidah minor pertama, kaidah kontinu
الآَصْلُ بقَاءُمَاكَانَ عَلَى مَاكَانَ
Artinya: “Pada dasarnya, asal itu meneruskan apa yang ada menurut keadaannya semula”
Maksudnya ialah suatu perkara yang sudah berada pada satu kondisi tertentu dimasa sebelumnya, akan tetapi seperti kondisi semula, selama tidak ada dalil yang menunjukkan terhadap hukum lain, sebab dasar dari segala sesuatu adalah tidak berubahnya atau tetap seperti sedia kala (baqa’), sedang kemungkinan untuk terjadi perubahan dari kondisi semula adalah sesuatu yang baru dan sifatnya spekulatif, sehingga tidak dapat dijadikan sebagai pijakan hukum.
Contoh penerapan dalam kaidah ini adalah dalam kasus orang ragu-ragu tentang apakah ia sudah berhadas ataukah belum, maka yang dijadikan ukuran adalah kondisi yang telah ada sebelumnya, yaitu[14]:
a. Jika kondisi sebelumnya ia belum wudlu, maka ia dianggap batal.
b. Jika kondisi sebelumnya ia sudah pernah berwudlu, maka yang dianggap suci.
2. Kaidah minor kedua, kaidah nihilis
من شك أفل شيأاملا فالاصل أنهلم يفعل
Artinya: “Jika ada orang ragu-ragu tentang apakah ia telah melakukan sesuatu ataukah belum? Maka hukum yang diambil adalah ia belum melakukan sesuatu”.
Maksudnya ialah pada dasarnya hukum yang bisa dijadikan pijakan dari kasus orang ragu-ragu apakah dirinya sudah mengerjakan suatu amaliyah atau belum adalah belum mengerjakan, sebab menurut asalnya ia belum mengerjakan amaliyah tersebut, kecuali jika amaliyah tersebut benar-benar sudah terwujud dalam kenyataan, dan keberadaannya meyakinkan.
Contoh penerapan dalam kaidah ini adalah dalam kasus ada seseorang yang sedang ragu-ragu perihal apakah ia sudah melakukan qunut atau belum, maka yang diambil adalah ia belum melakukan qunut. Karena ia disunnahkan melakukan sujud syahwi.
3. Kaidah minor ketiga, kaidah minimalis
من تيقن الفعل وشك في القليل أو الكثير حمل على القليل لأنه متيقن
Artinya: ‘Siapa saja yang telah yakin bahwa ia telah melakukan sesuatu dan ia ragu-ragu dalam hal sedikit banyaknya jumlah pekerjaan yang telah dilakukannya, mak hukum yang diambil adalah yang paling sedikit, sebab ketetapan seperti ini yang lebih meyakinkan”.
Maksudnya, jika ditemukan ada seseorang yang dalam dirinya sudah yakin melakukan suatu amaliyah, tetapi ia masih ragu-ragu, apakah yang telah ia lakukan itu adalah bilangan yang lebih banyak atau sedikit, maka hendaknya ia memilih bilangan yang sedikit, sebab minimal ini sudah pasti dikerjakan.
Contoh penerapan dalam kaidah ini adalah dalam kasus orang sholat yang ragu-ragu dalam rakaat yang telah ia lakukan, apakah sudah mendapat tiga rakaat atau empat rakaat? Maka yang harus diambil adalah yang tiga rakaat, sebab tiga rakaat inilah yang paling meyakinkan.
3. KAIDAH KETIGA
A. Teks Kaidah
Kesulitan itu menarik pada kemudahan
المَشَقَةُ تَجْلِبُ التَيْسِيْرُ
Yang dimaksud taisir ialah kelonggaran atau keringanan hukum yang disebabkan karena adanya kesukaran sebagai pengecualian dari pada kaidah umum. Dan yang dimaksud masyaqqat ialah suatu kesukaran yang didalamnya mengandung unsur-unsur terpaksa dan kepentingan, sehingga tidak termasuk didalamnya pengertian kemaslahatan yang bersifat kesempurnaan komplementer. Dengan demikian, maka semua bentuk keringanan dalam syari’ah islam itu, selalu bersumber dari kaidah komprehensip ketiga ini. Sedang yang menjadi dasar pijakan munculnya kaidah komprehensip ketiga ini adalah firman Allah surat An-Nisa’ ayat 28 sebagai berikut:
يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ
Artinya: “Allah itu mencintai kemudahan bagi kamu sekalian”.
Landasan Hukum[18]
• Firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah(2) ayat 185
يُرِيْدُ اللهُ بِكُمْ الْيُسْرِوَلاَيُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسرَ
Artinya : “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan Allah tidak menghendaki kesukaran bagimu” (QS. Al-Baqarah [2]: 185).
• Sabda Nabi SAW:
الدِيْنُ يُسْرٌاخُبُ الدِيْنِ إلَى اللهِ الخفِيَةَ السَمْحَةَ (رواه البخري)
Artinya : “Agama itu adalah mudah, sedang agama yang disenangi Allah adalah agama yang benar dan mudah” (HR. Bukhori).
B. Kaidah Minor dan Contoh Penerapannya
1. Kaidah minor pertama, kaidah longgar
إذا ضاق الأمر إتسع
Artinya: “Suatu perkara apabila sempit maka diperluas”.
Maksudnya, jika muncul kesulitan dalam suatu perkara, maka perkara tersebut menjadi di perlonggar dan diperluas. Makanya keringanan hukum akan bisa diperoleh jika disebabkan adanya kondisi yang sulit dan sempit.
Contohnya seperti najis ma’fu (dimaafkan), jika najis yang mengenai tubuhnya itu sulit dihindari, seperti musim lalat yang dalam kebiasaannya senang dibenda-benda najis, lalu menempel tubuh.
2. Kaidah minor kedua, kaidah sempit
إذا اتسع الأمر ضاق
Artinya: “Suatu perkara apabila luas maka dipersempit”
Contohnya seperti dalam kondisi berperang, orang boleh melakukan shalat dengan cara apapun, sekalipun dengan cara berlari akan tetapi jika peperangan sudah selesai maka ia harus melakukannya sesuai dengan syarat dan rukunnya, dan ia tidak boleh melakukan gerakan yang banyak.
Kasus-kasus yang menjadi contoh kedua kaidah minor seperti itu, sama halnya dengan pandangan Ibnu Abi Hurairah, yang mengatakan bahwa segala sesuatu, aku telah meletakan pada landasan kaidah minor (kaidah kondisional) berikut:
إذا ضاقت اتسعت وإذا اتسعت ضاقت
Artinya: “segala sesuatu jika keadaannya sempit (artinya pelaksanaanya sulit), maka ia menjadi luas dan jika luas (dan mudah pelaksanaanya), maka hukumnya menjadi sempit.
3. Kaidah minor ketiga, kaidah kebablasan
كل ما تجاوز حده إنعكس إلى ضده
Artinya: “Semua yang melampaui batas itu, hukumnya berbalik pada kebalikannya”.
Kaidah minor ini dibuat oleh imam al-Ghazali akibat dari adanya dua kaidah minor yang secara lahiriyah bertentangan, sehingga dengan kaidah yang dibuatnya bisa dijadikan dasar untuk mengkompromikan keduanya.
Contohnya Rasa manis atau asin itu memang enak, akan tetapi jika terlalu manis atau asin, maka jadinya tidak menjadi enak. Pada saat tidak punya apa-apa, makan nasi pohong dengan lauk pauk ikan asin, sudah terasa enak, tetapi dalam kondisi banyak harta, makan nasi beras dengan lauk pauk sate kambing, gule dan sebagainya, terasa kurang enak.
4. KAIDAH KEEMPAT
A. Teks Kaidah
Kemadlaratan itu harus dihilangkan
الضَرَرُيُزَالُ
Seperti dikatakan oleh ‘Izzuddin Ibn Abd al-Salam bahwa tujuan syariah itu adalah untuk meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan. Apabila diturunkan kepada tataran yang lebih konkret maka maslahat membaa manfaat sedangkan mafsadah mengakibatkan kemudaratan.
Kaidah tersebut di atas kembali kepada tujuan untuk merealisasikan maqashid al-syari’ah dengan menolak yang mafsadah, dengan cara menghilangkan kemudaratan atau setidaknya meringankannya.
B. Landasan Hukum
• Firman Allah SWT dalam Surah Al-A’raf ayat 55
وَلا تُفْسِدوَافِى الْاَرْضِ (الاعراف: ه ه)َ
Artinya :” Dan jangan kamu sekalian membuat kerusakan dibumi”. (QS. al-A’raf: 55)
• Sabda Nabi SAW:
لاَضَرَرَوَلاَضِرَارَ
Artinya :“Tidak boleh membuat kerusakan pada diri sendiri serta membuat kerusakan pada orang lain”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas).
C. Kaidah Minor dan Contoh Penerapannya
a. Kaidah minor pertama, kaidah netralitas
الَضَرُوْرَة تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ
Artinya: “Kemadlaratan itu membolehkan larangan”
Maksudnya keadaan dhorurot dapat memperbolehkan seseorang melakukan perkara yang asalnya dilarang. Kiranya perlu ditegaskan disini bahwa ada tiga hal yang menjadi pengecualian kaidah ini, yakni kufur, membunuh, dan berzina. Ketiga jenis perbuatan tersebut tidak boleh dilakukan dalam kondisi apapun termasuk kondisi dlorurot. Artinya, ketiga hal tersebut dalam kondisi apapun tetap diharamkan.
Contohnya boleh membuka aurot didepan dokter saat proses pengobatan.
b. Kaidah minor kedua, kaidah standar dlarurat (miqdaru al-dlarurat)
مَاأُبِيْعَ للضَرُورَاتِ يُقَدَرُبِقَدَرِهَا
Artinya: “Seseuatu yang diperbolehkan karena kondisi dlarurat, harus disesuaikan menurut batasan ukuran yang dibutuhkan dlarurat tersebut”.
Maksudnya, sesuatu yang asalnya dilarang, lalu diperbolehkan lantaran keadaannya yang memaksa, harus disesuaikan dengan ukuran darurat yang sedang dideritanya, dan tidak boleh dinikmati sepuas-puasnya atau seenaknya saja, sebab kaidah ini memberikan batasan pada kemutlakan kaidah yang pertama tadi, dimana kebolehan yang terkandung didalamnya hanya sekedar untuk menghilangkan kemadlaratan yang sedang menimpa.
Contoh penerapannya dalam kasus kelaparan yang kondisinya mendekati kematian (dlarurat). Orang seperti ini, mendapatkan keringanan (rukhshah), berupa kebolehan makan daging bangkai, yang asalnya berstatus haram. Sekalipun demikian, kebolehan tersebut hanya sebatas sebagai penyambung hidup, dan tidak boleh (haram) makan sepuas-puasnya, sehingga setelah merasa kenyang, maka tidak boleh lagi memakannya.
Dengan demikian, hokum diperbolehkan makan barang haram telah hilang, lantaran sudah hilangnya alasan (‘illat) yang memperbolehkannya.
c. Kaidah minor ketiga, kaidah
اَلضَرَرُلاَيُزَالُ بِا لضَرَرِ
Artinya: “Bahaya itu tidak dapat dihilangkan dengan bahaya yang lain”.
Maksudnya ialah seseorang itu tidak boleh menghilangkan suatu bahaya yang ada pada dirinya dengan menimbulkan bahaya pada diri orang lain, sebab semua manusia memiliki kedudukan yang setara, sehingga satu jiwa tidak dapat dikorbankan hanya untuk menjaga kelangsungan hidup bagi jiwa yang lain.
Contoh penerapannya, seperti dalam kasus tidak bolehnya orang sedang kelaparan mengambil makanan orang lain yang keadaannya juga akan mati kelaparan jika makanan yang menjadi miliknya hilang.
5. KAIDAH KELIMA
A. Teks Kaidah
Kebiasaan dapat dijadikan suatu hukum
اَلعَا دَةُ مُحَكَمَةٌ
Kaidah ‘Adah ini, diambil dari realita social kemasyarakatan bahwa semua cara hidup dan kehidupan itu dibentuk oleh nilai-nilai yang diyakini sebagai norma yang sudah berjalan sejak lama sehingga mereka memiliki pola hidup dan kehidupan sendiri secara khusus berdasarkan nilai-nilai yang sudah dihayati bersama. Jika ditemukan suatu masyarakat meninggalkan suatu amaliyah yang selama inisudah biasa dilakukan, maka mereka sudah dianggap telah mengalami pergeseran nilai. Nilai-nilai seperti inilah yang dikenal dengan sebutan ‘adat-istiadat, budaya, tradisi dan sebagainya. Kebudayaan itu bisa dianggap sebagai perwujudan aktivitas nilai-nilai dan hasilnya.
B. Landasan Hukum
• Firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah ayat 236
وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ ۖ
Artinya :” Dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan”. (QS. Al-Baqarah: 236)
• Sabda Nabi SAW:
المكيال مكيال اهل المدينة والوزن وزن اهل مكة
Artinya:“Takaran itu pemilik penduduk madinah dan timbangan itu milik penduduk makkah”
C. Kaidah Minor dan Contoh Penerapannya
a. Kaidah minor pertama, kaidah Ta’yin al-‘Urf
التَعْيِيْنُ بِا لعُرْ فِ كَا لتَعْبِيْنِ بِا لنَص
Artinya: “Yang sudah tetap berdasarkan kebiasaan sama hal-nya dengan yang sudah tetap berdasarkan nash”.
Kaidah Ta’yin al-‘Urf ini searti dengan kaidah Tsabitu al Ma’ruf berikut:
الثابت بالمعروف كاالتابت باانص
Atinya: “Yang ditetapkan oleh ‘urf sama dengan yang ditetapkan oleh nash”
Contohnya Adat Minangkabau tentang hubungan kekerabatan, yaitu Matrilenial, artinya:keturunan itu hanya dihitung menurut garis perempuan saja bukan laki-laki, sehingga suami dan anaknya harus diam dirumah keluarga pihak perempuan (matrilokal). Sekalipun demikian pada umunya kekuasaan masih dipegang oleh suami (matriarchat). Dalam hal ini islam bisa mentolerirnya, sebab tidak bertentangan dengan nash, baik al-qur’an maupun Hadits.
b. Kaidah minor kedua, kaidah ma’rufu al-‘Urf
الْمَعْرُوْفُ عُرْ فًا كَا لَمَشْرُوْ طِ شَرْ طاً
Artinya: “Yang sudah dianggap baik itu sebagai ‘urf sebagaimana yang disyari’atkan menjadi syarat”.
Kaidah Ma’rufu al-‘urf ini searti dengan kaidah Thardil ‘adah berikut:
العادة المطردة فى ناحية تنزل عادتهم منزلة الشرط
Artinya: “’adah yang umum berlaku dimasyarakat, maka ‘adah mereka menempati posisi syarat”
Contoh penerapannya dalam kasus menjual buah di pohon. Menurut qiyas, hukumnya tidak boleh dan tidak sah, karena jumlahnya tidak jelas (majhul), tetapi karena sudah menjadi kebiasaan yang umum dilakukan ditengah masyarakat, maka ulama’ membolehkannya.
c. Kaidah minor ketiga, kaidah penguatan budaya
كل ما ورد به الشرع مطلقا ولا ضابط له فيه ولا فى اللغة يرجع فيه الى العرف
Artinya: “Semua yang telah diatur oleh syara’ secara mutlak tanpa ada ikatan atau qayyid dan tidak ada ketentuannya secara pasti dalam agama dan tidak ada juga dalam bahasa, maka hal tersebut harus dikembalikan kepada ‘urf”.
Contoh penerapannya dalam kasus negara yang sedang mengalami krisis moneter global, dan tidak sedikit dalam satu negara ditemukan banyak mata uang yang beredar dan bisa dipergunakan sebagai alat pembayaran. Dalam kasus fluktuatif ini, warga negara bersangkutan yang sedang melakukan transaksi, harus terlebih dahulu menjelaskan mata uang apa yang akan dipakai sebagai alat pembayaran, sebab masing-masing masyarakat akan memiliki kepentingan yang berbeda dalam memilih mata uang yang dikehendaki.
DAFTAR PUSTAKA
Beni Ahmad Saebani, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, CV. Pustaka Setia, 2009, hlm. 193-194.
Rachmat Syafe’i, Ulmu Ushul Fiqih (untuk UIN,STAIN,PTAIS), Bandung, Pustaka Setia, 2007, hlm.147.
http://kozam.wordpress.com/2009/II/10/kaidah-kaidah ushul fiqh/
http://kozam.wordpress.com/2009/ii/10/kaidah-kaidah ushul fiqh/
Rachmat Syafe’i.Loc.Cit.
Beni Ahmad Saebani, Op.Cit.,hlm.194-195.
Beni Ahmad Saebani, Ibid., hlm.195-207.
Rachmat Safe’i, Op.Cit.,hlm.148-149.
Mu’in, dkk, “Ushul Fiqih 1”, Jakarta: Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, 1986, hal, Abdul haq, dkk, “Formulasi Nalar Fiqih”, Surabaya: Santri Salaf, 2009, hal,82.181
Muliadi Kurdi, “Ushul Fiqh Sebuah Pengenalan Awal”, cet.1, Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LKAS), Banda Aceh: 2011, hal. 4
Komentar
Posting Komentar